KARAKTER QALB

download (9)
Qalb adalah daging sanubari (al-lahm as-sanubari), yakni daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di rongga dada sebelah kiri yang berisi darah hitam kental.[1] Hati dalam konteks fisik ini tidak jauh beda dengan hati yang ada pada makhluk lain.[2]
Sementara itu pengertian qalb dalam pandangan sufi, ia menyebutnya “lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah”, sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhaniahan.[3] Dan hati adalah sebagai tumpuan dan tempat penilaian Tuhan atas perbuatan yang dilakukan manusia. Tuhan hanya memperhatikan hati, karena hati itulah yang menjadi hakekat manusia.
Qalb memiliki karakter yang tidak konsisten, oleh karena itu ia mudah terkena konflik batin, sehingga tingkah laku yang negatif pada diri seseorang akibat dari hati yang busuk. Dengan demikian potensi hati yang dimiliki oleh seseorang itu tidak sama, yakni sejauh mana seseorang itu mengatur dan mengendalikan hatinya, melalui bantuan rasio (akal).[4]
Secara nafsiologis, qalb dapat diartikan sebagai radar kehidupan. Pengertian lain, qalb adalah reservoir energi nafsiah yang menggerakkan ego dan fuad. Dalam konteks ini teori Freud tentang Id itu mirip dengan karakter hati yang tidak berisi keimanan, yakni qalb yang selalu menuntut kepuasan, dan menganut prinsip kesenangan (pleasure principle), dimana ia menghendaki agar segala sesuatu segera dipenuhi. Sehingga unsur kebahagiaan dan kepuasan tidak pernah terpenuhi, dan inilah yang dapat merusak mental.[5]
Karakter, watak, kepribadian dan mentalitas yang ada dalam diri seseorang itu berbeda karena dari kondisi qalb itulah yang mempengaruhi atau yang menggerakkannya. Menurut Imam al-Ghazali, ada tiga karakter yang dimiliki qalb.
Pertama, hati yang shahih (sehat) bisa menjadikan manusia selalu (salim) selamat. Karena hati yang sehat tersebut manusia dapat memiliki hal-hal kebaikan, mempunyai iman yang kokoh, tidak hidup serakah, memiliki kedamaian dan ketenteraman, khusyu’ dalam ibadah, banyak melakukan dzikir, jika melakukan kesalahan dapat segera sadar, dan di dalam diri selalu diliputi oleh perbuatan yang baik.
Kedua, hati yang mayyit (mati), hati ini kaku keras, yang membawa pada sifat-sifat yang jelek, sehingga banyak melakukan dosa, dalam dirinya. Selalu mengingkari nikmat Allah, iman yang mendorong untuk kebaikan itu tipis dan terkadang imannya kosong, selalu dikuasai hawa nafsu, berburuk sangka, tingkah lakunya selalu menyimpang dari norma-norma agama, egois, keras kepala, selalu ingin menang, dari perbuatan dosa-dosa yang dilakukan, maka akan jauh dari Allah, isi dari hati semacam ini pada intinya yaitu cenderung perbuatan atau hal-hal yang buruk.
Dan Ketiga, hati yang maridl (sakit), dalam hati ini ada campuran antara sehat dan mati, yang di dalamnya ada iman, ada ibadah, ada pahala, tetapi ada kemaksiatan dan perbuatan dosa kecil atau besar seperti, hatinya yang tidak tenang (gelisah) suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah menghargai orang lain, penderitaan lahir batin, tidak bahagia.[6]
Toto Tasmara menyebutkan, bahwa qalb memiliki beberapa karakter serta memiliki fungsi. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Fuad, merupakan potensi qalb yang berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering muncul dan dilambangkan dalam otak manusia.
Fuad memiliki tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Karakter yang dimiliki, cenderung dan selalu merujuk pada obyektivitas, kejujuran, dan jauh dari sikap kebohongan. Sebagaimana dalam firman tuhan dalam surat al-Isra: 36, yang artinya, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”.
Fuad yang jujur dan obyektif akan selalu haus dengan kebenaran dan bertindak di atas rujukan yang benar.
2. Shadr, merupakan potensi qalb yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi emosi, (marah, benci, cinta, simpati, empati dan laian-lain).
Shadr adalah dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, sehingga mampu menerjemahkan dan memecahkan segala sesuatu serumit pun menjadi mudah dan indah.
3. Hawa, merupakan potensi qalb yang menggerakkan kemauan. Di dalamnya ada ambisi, kekuasaan, kekayaan dan lain sebagainya.
Karakter yang dimiliki hawa itu bersifat mengejar kesenangan dunia, sehingga banyak orang yang tergelincir pada kesesatan, kebingungan, kebimbangan, kemungkaran dan tergelincir pada kehinaan, karena dalam diri manusia lebih banyak didominasi atau lebih condong pada karakter ini.[7]
Apabila dibandingkan dengan teorinya Freud, hawa sama dengan Id, yang selalu menginginkan kepuasan dan sifatnya mengejar kesenangan, kenikmatan (pleasure principle). Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS: Yusuf: 53). Disinilah pangkal terjadinya gangguan mental.
Ketiga potensi qalb tersebut di atas, berada dalam bilik-bilik qalb, yang memiliki tugas dan peran sesuai dengan perannya masing-masing. Dalam hubungannya dengan dunia luar, atau ketika menerima rangsangan dari luar, ketiga potensi tersebut akan memberikan respon dalam bentuk perilaku.
Pada dasarnya ketiganya selalu bekerja sama dan saling mengisi, hanya saja dalam bentuk riilnya, tindakan dan perbuatannya ataupun tingkah laku yang diwujudkan, bergantung pada potensi manakah yang paling dominan.
Dan qalb juga memberikan ruang bagi akal untuk memberikan pemikiran dan pertimbangan sebelum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang bisa mencerminkan kondisi mental dan kepribadian seseorang.
Ketiga karakter yang ada dalam qalb tersebut di atas mempunyai kandungan atau muatan kepribadian yang berbeda, yang kemudian megental menjadi bentuk keinginan yang ditampung oleh nafs.
Peran dan fungsi nafs yang menampung berbagai potensi qalb tersebut dijabarkan keseluruhannya dalam bentuk, sikap dan perilaku. Yang kesemuanya dibenturkan pada hubungan manusia terhadap tiga dimensi, yaitu hubungan dengan Allah, (agama) dengan, diri sendiri, dengan manusia lain, dan dengan lingkungan (alam).
Kewajiban nafs disini adalah memberikan kontrol agar potensi tersebut terpecah. Nafs juga harus mengatur secara adil hubungan diantara ktiganya tersebut. Karena ketiganya tidak boleh terabaikan, karena ketiganya yang menjadikan ukuran terhadap kesehatan mental, sebab mental seseorang itu bisa dianggap tidak terganggu apabila ketiga dimensi yang mengelilingi manusia tersebut agama, aku dan lingkungan, menyatakan manusia tersebut berjalan pada garis dan koridor yang benar, yakni manusia telah memenuhi kriteria sehat secara holistic yaitu sehat secara “bio-sosio-psycho-spiritual”.[8]
Untuk mencapai kesehatan secara holistik tersebut terlebih dahulu harus membenahi qalb dan nafs. Dapat dipahami bahwa qalb yang baik akan membentuk nafs yang baik pula, sehingga pada akhirnya dapat membentuk kepribadian dan membentuk mentalitas yang baik (tidak terganggu). Dan ini tidak hanya mencakup sehat dalam satu dimensi saja. Akan tetapi, mampu mencapai sehat secara holistic tersebut.


[1] M. Solihin, Tasawuf Tematik; Membela Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 127
[2] Al-Ghazali, Rahasia Keajaiban Hati, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1999), hlm. 12.
[3] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin (Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama), terj, Ismal Yakub, (Singapore: Pustaka Nasional Pte led, 1988_, hlm. 898.
[4] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 110-115.
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.163.
[6] M. Amin Syukur, dan Fatimah Usman, Insan Kamil Kontemporer (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMHI)), CV. Bima Sejati, Semarang, 2004, hlm. 14.
[7] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 93-94.
[8] Ibid., hlm. 118.
































KISAH CINTA QAIS DAN LAILA

pohon cinta
Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil.
Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada ALLAH, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan ALLAH menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman.
Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-“Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab -sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.
Kisah Cinta
Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, “Lihatlah Qais, ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu.
Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya.
Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke rumah Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh.
Bibirnya diberi yang seperti lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu. Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka.
Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya.
Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya.
Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila. Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja, Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya.
“Hus” katanya, “Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab.
Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila.
Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya. Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun Sahara untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Kesedihan
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya.
Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.”
Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.”
Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih.
Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu”.
“Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?”
Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya.
Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.
Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.  Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.
Laila
Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun.
Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun… Majnun. . Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila.
Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota. Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.












































































HUBUNGAN JIWA DENGAN BADAN (JASAD)

download (8)
Dewasa ini, kata “jiwa” dan “Badan” (jasad) sudah tidak asing lagi ditelinga kita, kata-kata itu sudah menjadi bahasa sehari-hari. Kata badan sering pula diganti dengan kata “raga” seperti yang nampak dalam kalimat “berkorban jiwa dan raga demi membela tanah air dan bangsa”. Dalam kalimat tersebut tersimpul adanya konsep kesatuan antara jiwa dan badan atau raga. Jika seseorang mati maka badan akan dikubur dan hancur berkalang tanah. Tapi bersamaan itu pula jiwanya melayang atau lenyap, karena orang tidak akan melihatnya lagi. Dia berkorban jiwa dan raga, tapi dibalik pengertian formal itu sebenarnya tersembunyi suatu pengertian lain yang diyakini oleh orang yang bersedia berkorban itu yaitu bahwa sungguhpun raga dan nyawanya lenyap, jiwa dipercayai tetap “hidup”, terutama bagi yang beragama. Jiwa itu (berharap) akan kembali kepada Tuhan dan hidup bahagia di sisi-Nya. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 154,
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur dijalan Allah (bahwa mereka itu) telah mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu tetap hidup, tetapi kamu tidak menyadari”.
Pembicaraan tentang jiwa memang masih sedikit karena banyak dari ilmuwan yang terjebak ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa ruh itu adalah urusan Allah dan Kita hanya diberi sedikit sekali pengetahuan tentangnya (QS. al-Isra: 85) padahal ayat itu mengisyaratkan bahwa masalah tentang ruh atau jiwa (ruh yang telah mempribadi) itu adalah sesuatu yang dapat dipelajari.
Plato dapat disebut orang yang pertama yang memulai studinya dengan obyek yang khusus ini. Ia mulai dengan membedakan antara jiwa dan raga (badan) itu sedemikian rupa sehingga orang memperoleh pengertian mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga ini.[1]
Dia mengatakan bahwa jiwa merupakan satu substansi yang eksistensinya mendahului badan yang untuk sementara waktu tertutup di dalam badan seperti dalam sebuah penjara,dan yang dapat menjadi dirinya secara sempurna hanya setelah ia keluar dari badan itu. Ia adalah “ada” dan badan adalah sesuatu yang lain dari “ada” sehingga bisa dikatakan bahwa Plato mengajarkan tentang jiwa dan badan suatu ajaran yang dinamakan dualisme.
Dualisme itu ditolak oleh Aristoteles,seorang murid Plato. Dia berpendapat bahwa setiap makhluk hidup adalah sesuatu yang satu yang merupakan satu substansi saja, akibatnya jiwa bukanlah suatu substansi dia tidak bisa bereksistensi terpisah dari badan.[2]
Pada masa menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene Descartes (1596-1660 M) yang terkenal dengan perkataannya “Cogito Ergo Sum” (Saya berfikir, karena itu saya ada). Descarter melihat kesaling-terkaitan jiwa–badan, dimana jiwa pada hakekatnya mengarah kepada badan. Kalau badan sakit, jiwa turut merasakannya, tapi jiwalah yang memberi kesadaran dan arti pada badan dan menunjukkan adanya “aku”. Keduanya berbeda, namun saling berkaitan. Dari pendapat Descartes ini melahirkan dampak pada penilaiaan filosof-filosof sesudahnya, seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872) dan George Berkeley (1685-1753).
Ludwig Feuerbach, filosof Jerman pada pokoknya mengatakan bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah badan tubuh raga yang merupakan bagian dari materi yang lebih luas. Dalam pandangan materialisme ini yang rohani tidak ada, termasuk jiwa. Kalaupun terdapat gejala-gejala yang disebut dan dianggap sebagai rohaniah, termasuk persepsitentang Tuhan, maka hal itu adalah efek-efek saja dari materi, sebagaimana halnya banyak gejala timbul karena proses kimiawi. Jiwa menurutnyahanyalah ekspresi dari tubuh.
Pendapat ini berlawanan dengan pandangan filosof Irlandia, George Berkeley (1685-1753 M) yang justru mengingkari adanya materi sebagai yang hakiki, tentu saja kehadiran materi itu tidak bisa diingkari, tetapi materi itu ada karena dipersepsikan oleh jiwa yang berisikan akal (Being is Being perceived). Semua yang hadir hanyalah pengalaman jiwa. Ia sebenarnya tidak menyangkal adanya tubuh, tapi tubuh itu sendiri pada hakekatnya adalah manifestasi dari kehadiran ruh. Ruh adalah pusat segala sesuatu dalam kehidupan yang bertindak sebagai subyek dan menempatkan yang lain sebagai obyek. Badan hanyalah cerminan dari yang rahani. Yang hakekatnya adalah jiwa.[3]
Kedua pandangan ekstrem yang diwakili oleh Feuerback di satu kutub dan Berkeley di lain kutub yang berlawanan itu mungkin saja cenderung untuk tidak diterima oleh masyarakat ramai. Setidaknya tidak sepenuhnya dianggap benar. Namun, pandangan itu tetap bermanfaat bagi pemahaman tentang jiwa maupun badan. Karena dengan mendasarkan diri dan bertolak dari salah satu aspek manusia, yaitu badan atau jiwa, maka pengetahuan mengenai tiap-tiap hal itu akan cenderung semakin mendalam.
Menurut al-Ghazali, seorang pemikir Islam, bahwa jiwa yang bersih akan membawa dampak yang positif bagi perbuatan-perbuatan anggota badan, karena jiwa dan badan itu dipandang memiliki hubungan saling menerima kesan, seperti yang pernah diungkapkan dalam kitabnya bahwa jiwa itu apabila telah menjadi sempurna dan telah bersih, maka perbuatan-perbuatan anggota badan akan menjadi baik. Begitu juga badan, jika kesan-kesan yang telah ditimbulkan itu baik, maka akan tumbuhlah dalam jiwa, tingkah laku yang baik dan akhlak yang diridhai oleh Allah.
Dari ungkapan ini selain mengandung teori psikologi tentang hubungan jiwa dan tingkah laku jasmani, juga memuat sebuah konsep, bahwa bahwa tingkah laku manusia itu sangat ditentukan oleh keadaan jiwanya dalam relasi horisontalnya dengan alam atau lingkungan dan relasi transendentalnya dengan Tuhan. Ini berarti bahwa unsur rohaniah (kejiwaan) manusia dipandang sangat menentukan terhadap keadaan perbuatan jasmaninya sendiri.[4]
Teori Psikologi al-Ghazali tentang hubungan antara jiwa dan tingkah laku lahiriah adalah sejalan dengan teori psikologi modern. Menurut Psikologi modern, hubungan jiwa dan perbuatan lahiriah hampir tak bisa dipisahkan, karena tingkah laku lahiriah ditentukan oleh keadaan psikologis yang ada dalam pikiran dan perasaan.[5]
Sedangkan dalam al-Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk biologis yang disebut al-Basyar sekaligus juga sebagai makhluk rohaniah berikut karakteristik-karakteristik psikologisnya dengan sebut al-Insan.

[1] M. Dawam Raharjo, Nafs, Jurnal Ulumul Qur’an No. 8, Vol. II, 1991, hlm. 53
[2] Louis Leahy, SJ, Manusia sebuah Misteri, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 53 – 54
[3] M. Darwan Raharjo, Op. Cit., hlm. 55
[4] Abdullah Hadziq, Kajian Psikologis Terhadap Tasyfiyat al-Nafs dalam Mizah al-Amal Karya Al-Ghazali, Teologia, Vol. 15, No.2, Juli, 2004, hlm. 231
[5] H. Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 156 -157


















MENGADZANI ANAK YANG BARU LAHIR

menadzani anak
Anak sholeh merupakan tuntunan agama yang juga menjadi harapan setiap orang tua tetapi tidaklah mudah untuk meraihnya, karena orang tua sebagai first school dianjurkan mampu memotivasi perkembangan anak secara total yang mencakup fisik, emosi, intelektual dan religius-spiritual; bahwa perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan perkembangan religius adalah suatu keniscayaan dalam pendidikan Islam,[1] sehingga dalam mengukirnya harus sesuai dengan ajaran agama agar terbentuk generasi yang setabil dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirnya selamat sampai kehidupan di akhirat nanti. Sudah menjadi keharusan bahwa pendidikan terhadap anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya karena dasarnya anak lahir dalam keadaan fitrah sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَ يُنَصِّرَانِهِ وَ يُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (HR. Muslim)[2]
Hadits tersebut jelas menyebutkan bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, polos bagai kain kanvas putih yang akan dapat dengan mudah dicoreti tinta warna apapun dan dengan bentuk gambar bagaimanapun sehingga orang tua akan dapat dengan mudah melukiskan dengan corak, warna dan model yang sesuai dengan kehendaknya, dalam hal ini seakan Rasulullah memberikan otoritas penuh kepada orang tua tanpa adanya campur tangan dari pihak lain sampai Rasulullah mengungkapkan bahwa anak (dari orang muslim) tergantung atas orang tuanya yang mau membentuknya sebagai generasi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.
Begitu besar tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak sejak dini agar kelak besar nanti anak tidak menempuh jalan yang sesat, diantara pendidikan terhadap anak sejak awal ini Rasulullah SAW memberikan suri-tauladan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
حَدَّثَناَ مَسَدَّدُ ثَناَ يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِيْ عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ رَافِع عَنْ أَبِيْهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلْيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ (رواه أبو داود)
(Abu Daud berkata): Musaddad telah menyampaikan suatu hadits kepada kami, (Musaddad berkata): Yahya telah menyampaikan hadits tersebut kepada kami dari Sufyan, (Sufyan) berkata: ‘Ashim bin ‘Ubaidillah menyampaikan hadits kepadaku dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari bapaknya, dia (Abi Rafi’) berkata: “Saya telah melihat Rasulullah mengumandangkan adzan pada telinga al Hasan bin Ali ketika Fathimah melahirkannya, dengan adzan shalat.”[3]
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Mufarida (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo) dalam skripsinya yang berjudul Kualitas Hadits Tentang Adzan pada Telinga Bayi yang Baru Lahir, dinyatakan bahwa ditemukan tiga riwayat hadits tersebut melalui Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi dan Abu Daud, dan semuanya melalui satu periwayat yang dha’if yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sehingga bila dipandang dari segi riwayatnya hadits ini termasuk hadits yang dha’if, tetapi secara matan hadits ini bukanlah termasuk hadits yang dha’if karena dari segi kandungan matanya tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan akal sehat.[4]
Abī al-‘Ulā Muhammad Abdurrahman al-Mubarkafūry dalam kitab Tuhfah al-Ahwady Bissyarkhi Jami’ at-Tirmiżi, menjelaskan apabila ditanya: bagaimana melaksanakannya padahal hadits ini dha’if karena dalam sanadnya terdapat ‘Ashim bin Abdillah yang diketahui dha’if. Hadits tersebut adalah dha’if akan tetapi hadits tersebut saling menguatkan dengan haditsnya al-Husain bin Ali yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mausuly dan Ibnu as-Siny.[5]
Keterangan dari Syarkh di atas dapat disimpulkan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan salat, secara sanad hadis ini dha’if karena melalui perawi yang diangap lemah oleh para ulama hadis yaitu ‘Ashim bin Abdillah, adapun pelaksanaannya dibolehkan dan adzan tersebut dilaksankan sesaat setelah bayi dilahirkan.
Adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah sama dengan adzan salat, dan ini menunjukkan akan disunnahkannya adzan di telinga bayi yang baru lahir. Al-Qāry berkata: “Penjelasan hadits ini: diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz menyebutkan bahwa apabila seorang anak dilahirkan maka diadzani di telinga kanan dan diiqamati di telinga kiri. Kemudian dalam Musnad Abī Ya’lā al-Mausūly dengan riwayat marfu’ dari al-Husain: Barangsiapa yang melahirkan anak maka adzanilah di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri maka tidak akan diganggu oleh Ummu Sibyan. Dan Ummu Sibyan adalah sebangsa jin. Begitu juga yang disebutkan oleh dalam al-Jami’ al-Sagir al-Suyuty.[6]
Adapun tentang pelaksanaan hadits dha’if ini para ulama’ berpendapat sebagai berikut :
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits merangkumkan bahwa pendapat tentang pemakaian hadits dha’if itu ada tiga mazhab ulama’ yaitu:
1. Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlaq. Pendapat ini dikemukakan oleh al Bukhari dan Muslim, alasannya adalah agama Islam diambil dari Al-Qur’an dan sunnah yang benar sedangkan hadits dha’if bukanlah sunnah yang dapat diakui kebenarannya.
2. Hadits dha’if boleh dipergunakan untuk fadhailul ‘amal. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian Fuqaha dan ahli hadits seperti Imam Ahmad dan Ibu Abdul Barr.
3. Hadits dha’if dipergunakan apabila dalam suatu masalah tidak diperoleh hadits-hadits shahih dan hasan. Pendapat ini disandarkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad.[7] Abu Daud menyatakan bahwa hadits yang lemah (dha’if) jika tidak terlalu lemah adalah lebih baik dibandingkan dengan pendapat para ulama’ itu sendiri.[8]
Senada dengan pendapat Hasbi, Fatchur Rahman dalam kitabnya yang berjudul Ikhtisar Mushthalah al-Hadits menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya hadits dha’if diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini terbagi menjadi tiga pendapat,
Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dha’if. Baik untuk menetapkan hukum maupun untuk memberikan sugesti keutamaan amal. Ini adalah pendapat Ibnu Bakar al-‘Arabi.
Kedua, membolehkan mengamalkan hadits dha’if dengan melepaskan sanadnya dan tidak menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadhail al-a’mal). Bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal, Abdur Rahman bin Mahdy dan Abdullah bin Mubarak.
Ketiga, membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if untuk fadhail al-a’mal dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Hadits dha’if yang ke-dha’if-nya tidak tidak keterlaluan. Oleh karena itu, hadits dha’if yang disebabkan rawinya pendusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah, kendatipun untuk fadail al-a’mal.
2. Dasar a’mal yang digunakan oleh hadits dha’if tersebut masih dibenarkan oleh hadits yang maqbūl (hadits aī dan hasan). Artinya hadits dha’if tersebut memiliki muttabi’ hadits aī.[9]
Hadits muttabi’ adalah hadits yang mengikuti periwayatan rawi lain sejak pada gurunya atau gurunya guru. Sedangkan, periwayat yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya guru dari rawi lain disebut muttabi.[10]
Apabila periwayat yang lebih dari satu orang itu menerima hadits tersebut dari guru yang sama maka hadits itu disebut hadits mutabi’ tamm, jika periwayat tersebut menerima hadits tersebut dari guru-guru yang berbeda maka hadits yang dimaksud disebut dengan hadits mutabi’ qashir.[11] Dengan bahasa yang lebih mudah muttabi’ adalah periwayat yang menjadi pendukung sanad lain ditingkat selain sahabat. Bila dukungan itu terletak ditingkat sahabat disebut dengan syahid. Menurut Ibnu Katsir, hadits syahid adalah jika sebuah hadits diriwayatkan secara makna dari jalur lain, yang berasal dari sahabat yang berbeda.[12]
3. Dalam mengamalkan hadits dha’if tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi, tetapi dengan tujuan untuk kehati-hatian belaka.[13]
Dari pendapat para ulama’ tersebut terdapat dua mazhab yang berpendapat bahwa hadits dha’if boleh diamalkan dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulispun sependapat bahwa pelaksana hadits dha’if itu boleh saja selama hadits tersebut tidak berhubungan dengan hukum syari’at yang berupa haram, halal, makruh, wajib dan mustahab. Pendapat ini didukung oleh Yusuf Qardhawi yang menuliskan bahwa mayoritas ulama’ memperbolehkan periwayatan hadits yang lemah dalam hal fadailul a’māl (perbuatan kebaikan), raqāiq (ungkapan nasihat yang mengharukan), zuhud, targīb (Imbauan untuk berbuat baik), tarhīb (menakut-nakuti agar tidak berbuat dosa) dan kisah-kisah.[14]
Berdasarkan dari pendapat para ulama’ yang telah dikemukakan di atas, maka hadits tentang adzan di telinga bayi yang baru lahir dalam hal penggunaannya adalah hukumnya boleh dilaksanakan karena isi hadits tersebut termasuk kepada kategori fadhailul a’mal dan tidak berhubungan dengan hukum syari’at, disamping itu tidak ada dalil yang lebih kuat yang melarangnya bahkan ada beberapa hadits yang dalam misinya mendukung pelaksanaan hadits tentang adzan di telinga bayi yang baru lahir ini. Dan hendaknya hadits ini disikapi sebagai langkah pendidikan kepada anak.
Kemudian untuk membuktikan apakah bayi bisa mendengar? Penulis akan kemukakan beberapa dalil al-Qur'an, hadīs dan beberapa hasil penelitian. Allah SWT berfirman:
وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِن بُطُونِ أُمَّاهَتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ الأَبْصَارَ وَ الأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل: 78)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Qs. an-Nahl: 78)[15]
Al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut menyebutkan bahwa penciptaan pendengaran dan penglihatan itu agar manusia dapat mengetahui sesuatu, pendengaran dan penglihatan itu sendiri diciptakan sejak bayi masih dalam kandungan.[16]
Penafsiran al-Qurthuby tersebut menjelaskan bahwa pendengaran dan penglihatan diciptakan sejak bayi masih dalam kandungan, sehingga sangat mungkin sekali bahwa bayi yang masih dalam kandungan bisa mendengarkan, apalagi yang sudah dilahirkan tentu pendengaran sudah tidak terhalang lagi. Sesaat setelah dilahirkan rangsangan yang utama dan pertama dirasakan oleh bayi adalah rangsangan suara, sedangkan rangsangan cahaya yang ditangkap oleh mata baru benar-benar sempurna pada bayi usia 6 bulan.[17]
Dengan demikian, mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru dilahirkan sangatlah mungkin dilakukan, karena sejak dalam kandungan bayi tersebut sudah bisa mendengar dan setelah dilahirkan tentunya pendengaran akan lebih bisa digunakan secara optimal, sehingga adzan di telinga bayi yang baru lahir itu akan dapat di terima oleh bayi sebagai informasi pertama sebelum dia mendengar informasi yang lainnya. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
حَدَّثَناَ حَاجِ بن الْوَلِيْد حَدَّثَناَ مُحمد بن حَرْبٍ عَن الزُّبَيْدِي عَن الزُّهْرِي أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بن الْمُسَيَّب عَن أَبي هُريرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلم مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَواهُ يُهَوِّدَانِهِ وَ يُنَصِّرَانِهِ وَ يُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
(Imam Muslim berkata:) Hajib bin al-Walid menyampaikan hadīs kepada kami, (Hajib bin al-Walid berkata :) Muhammad bin Harbin menyampaikan hadīs kepada kami dari al-Zubaidi, (al-Zubaidi berkata :) Sa’id bib al Musayyab menyampaikan hadīs kepadaku dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (HR. Muslim)[18]
Mastuhu dalam bukunya Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, mengungkapkan bahwa pengertian fitrah adalah berarti asli, bersih dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada manusia itu sendiri.[19] Pendapat ini dilandaskan pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 172 berikut:
وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْناَ أَنْ تَقُولُوا يَومَ الْقِيَامَةِ إِناَّ كُناَّ عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ (الأعراف: 172)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Qs. al-A’rāf: 172)[20]
Jadi, sesungguhnya anak yang dilahirkan itu bukannya kosong tanpa isi sama sekali tetapi yang dimaksud fitrah itu adalah suci yang mengandung daya-daya yang berupa fitrah illahiyah yang telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa yang ditandai ikrar manusia sejak masih dalam kandungan sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk menghindar bahwa dia tidak tahu tentang keesaan Allah.
Kemudian untuk menyuburkan fitrah illahiyah itu diantaranya yaitu dengan mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru lahir sebagai wujud tanggung jawab orang tua dalam rangka menjaga dan mengembangkan fitrah illahiyah yang telah tertanam dalam diri anak. Dalam Hadīs yang lain Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بن مُحمد حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاق أَخْبَرَناَ مَعْمَر عَنِ الزُّهْرِي عَن سَعِيد بن الْمُسَيَّب عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ وَ الشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِيْنَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخاً مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِياَّهُ إِلاَّ مَرْيَمَ وَ ابْنَهاَ (رواه البخاري)
(Imam Bukhari berkata:) telah meriwayatkan hadits kepadaku Abdullah bin Muhammad, (Abdullah bin Muhammad berkata:) Abdurrazzaq telah meriwayatkan hadits kepadaku, (Abdurrazzaq berkata:) Mu’ammar telah memberikan habar kepadaku dari al Zuhri dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah r.a., Bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali setan akan menyentuhnya ketika dia lahir, maka setan memeras perutnya sehingga bayi tersebut menjerit karena sentuhan setan, kecuali Maryam dan putranya”. (HR. al-Bukhari)[21]
Hadits tersebut menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan akan selalu disertai oleh setan dan kemudian setan akan meremas perutnya dengan keras sehingga anak itu akan menjerit kesakitan, dengan kata lain setan tersebut juga akan menggoda anak tersebut. Maka untuk menghindari hal tersebut tindakan untuk mengadzani anak yang baru lahir adalah suatu upaya untuk mencegah setan agar tidak mengganggu anak lebih jauh lagi.
Adapun hikmah pengkumandangan adzan di telinga bayi yang baru lahir, Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Mudud sebagaimana dikutip oleh Jamal Abdurrahman dalam bukunya Pendidikan Ala Kanjeng Nabi menyebutkan bahwa rahasia dikumandangkannya adzan dan iqamah pada telinga bayi yang baru lahir adalah supaya adzan merupakan kalimat yang pertama yang didengar oleh bayi, dimana adzan ini mengandung kebesaran Allah dan merupakan persaksian bagi bayi tersebut untuk dimasukkan Islam.[22]
Abdullah Nasih Ulwan dalam karyanya yang berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam yang diterjemahkan oleh Jamaluddin Miri dengan judul Pendidikan Anak dalam Islam, menambahkan bahwa hikmah lainnya yaitu agar dakwah/ajakan untuk iman dan menyembah kepada Allah dengan lafal syahadatain sebagai simbol pertama masuk Islam itu lebih dulu dari pada ajakan setan karena setiap anak yang dilahirkan itu sudah selalu ditunggui oleh setan.[23] Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW,
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بن مُحمد حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاق أَخْبَرَناَ مَعْمَر عَنِ الزُّهْرِي عَن سَعِيد بن الْمُسَيَّب عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ وَ الشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِيْنَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخاً مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِياَّهُ إِلاَّ مَرْيَمَ وَ ابْنَهاَ (رواه البخاري)
(Imam Bukhari berkata:) telah meriwayatkan hadits kepadaku Abdullah bin Muhammad, (Abdullah bin Muhammad berkata:) Abdurrazzaq telah meriwayatkan hadits kepadaku, (Abdurrazzaq berkata:) Mu’ammar telah memberikan habar kepadaku dari al Zuhri dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah r.a., Bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali setan akan menyentuhnya ketika dia lahir, maka setan memeras perutnya sehingga bayi tersebut menjerit karena sentuhan setan, kecuali Maryam dan putranya”. (HR. al-Bukhari)[24]
Hadits tersebut menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan akan selalu disertai oleh setan dan kemudian setan akan meremas perutnya dengan keras sehingga anak itu akan menjerit kesakitan, dengan kata lain setan tersebut juga akan menggoda anak tersebut.
Abdurrahman Mas’ud mengemukakan bahwa adzan dan iqamah yang diperdengarkan pada bayi yang baru lahir merupakan ajakan kemenangan dalam arti yang sebenarnya yaitu al-falah: kejayaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.[25]
Pendapat tersebut menafsirkan bahwa lafad al-falah bisa diartikan secara luas yaitu kejayaan lahir yaitu kebahagiaan lahiriyah berupa kesehatan dan kebaikan kehidupan serta kejayaan batin yang berupa ketenteraman secara batiniyah, serta kejayaan dunia akhirat yaitu dalam dunia bisa hidup tentram dan bahagia dengan penghidupannya serta bisa mengamalkan ibadah sesuai dengan syariat agama yang akhirnya nanti akan masuk dalam kejayaan akhirat karena ibadah dan amal kebaikan di dunia yang telah ia lakukan.
Dengan bahasa yang berbeda Aba Firdaus al-Hawawi dalam buku yang berjudul Melahirkan Anak Salih, juga mengatakan bahwa di dalam adzan juga terkandung makna ajakan untuk mengenal Allah mengenal agama serta ajakan untuk beribadah kepada-Nya.[26]
Keempat pendapat di atas mengemukakan betapa besar hikmah adzan yang diperdengarkan pada telinga bayi yang baru lahir yaitu sebagai talqin tentang keimanan yaitu ajakan untuk masuk Islam dengan syahadatain dan tuntunan ibadah serta bermaksud agar dakwah Islamiyah tersebut tidak didahului oleh ajakan setan yang selalu menggoda manusia.

[1] Abdurrahman Mas’ud, Azan Di Telinga Anak, dalam Nurcholish Madjid, dkk., Puasa Titian Menuju Rayyan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. I, hlm. 109.
[2] Imam Abi al Husain Muslim bin al Hajjaaj al Qusairy al Naisabury, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, t.t.), hlm. 458.
[3] Imam Abi Dawud Sulaiman Ibn al Asy’ash al Sijistany al Azdy, Sunan Abi Daud, Jus III (Bairut: Dar al kutub al ‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 333.
[4] Sri Mufarida, Kualitas Hadiś Tentang Ażan Pada Telinga Bayi yang Baru Lahir, Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 77.
[5] Abī al-‘Ulā Muhammad Abdurrahman al-Mubarkafūry, Tuhfah al-Ahwady Bissyarkhi Jami’ at-Tirmiżi, Juz V, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 89
[6] Ibid, hlm. 90
[7] Tengku Muhammad Hasbi ash Shiqqieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 201-202.
[8] Muhammad Mustafa Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1993), hlm. 119.
[9] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadits, (Bandung: al Ma’arif, 1974), hlm.143
[10] Ibid, hlm. 107
[11] Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 124
[12] Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Ikhtisar Ulum al Hadits, (Kairo: Dar Ibnu al Jauzi, 2008), hlm.36
[13] Fatchur Rahman, Op. Cit, hlm.230
[14] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 67.
[15] R.H.A. Sunarjo, dkk, Al-Qur'an al Karim wa Tarjamatu Ma’anihi ila al-Lughah al-Indunisia (al-Qur'an dan Terjemahnya), (Madinah al Munawwarah: Mujamma’ Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, 1418 H.), hlm. 413.
[16] Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, Juz 10, (Bairut: Darul Kutub al Ilmiyyah, 1993), jilid V, hlm. 100.
[17] Gajahnata, Beberapa Aspek Pemikiran tentang Kesehatan dan Kelahiran dalam Islam, (Jakarta : PT. Media Sarana Press, 1987), hlm. 124.
[18] Imam Abi al Husain Muslim bin al-Hajjaaj al-Qusairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut : Dar al Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), hlm. 458.
[19] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS: 1994), hlm. 15.
[20] R.H.A. Sunarjo, dkk. , Op.Cit., hlm. 250.
[21] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Ibnu Ibrahim bin al Mugirah Barizabah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, (Bairut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 199.
[22] Jamal Abdurrahman, Pendidikan Ala Kanjeng Nabi, Terj. Jujuk Najibah Ardiyaningsih, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 11.
[23] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Jamaliddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 66
[24] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Ibnu Ibrahim bin al-Mugirah Barizabah al-Bukhari, Loc. Cit.
[25] Abdurrahman Mas’ud, Azan di Telinga Anak, dalam Nurcholish Majid, dkk, Puasa Titian Menuju Rayyan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 109.
[26] Aba Firdaus al-Hawani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), Cet. III, hlm. 38













































































MAKNA CINTA

merah
Melihat cinta sebagai salah satu bentuk sikap dan perilaku manusia, maka tidak bisa dimungkiri bahwa cinta merupakan salah satu lahan garapan bagi kajian psikologi. Secara psikologis cinta adalah sebuah perilaku manusia yang emosional di mana wujudnya adalah tanggapan atau reaksi emosional seseorang terhadap rangsangan tertentu. Dalam hal ini cinta dipengaruhi oleh interasi antara pecinta dengan lingkungannya, kemampuan pecinta tersebut, serta tipe dan kekuatan unsur pendorongnya.[1]
Dalam mendefinisikan cinta belum pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang singkat padat dan mewakili pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini dikarenakan bahwa pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang terhadap realitas yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi yang dilontarkan seseorang sangat tergantung latar belakang historis yang membuat definisi dan kondisi yang melingkupi ketika definisi tersebut dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi perasaan, maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam cinta.
Kata cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir).[2]
Sedangkan dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada.[3]
Banyak sekali tokoh-tokoh psikologi yang mencoba mendefinisikan cinta, dan harus diakui bahwa definisi-definisi tersebut sangatlah beragam dan tidak senada. Diantaranya adalah Sigmund Freud, yang mengungkapkan bahwa cinta dan hal-hal lain yang sama sifatnya dengan cinta tidak lebih dari salah satu kemampuan psikis manusia.
Sumber dan pusat pendorong yang paling utama dalam cinta dan hal-hal lain tersebut adalah libido seksual. Berbagai pandangan yang muluk-muluk tentang cinta sebenarnya bermuara pada cinta seksual dan bertujuan pada penyatuan seksual. Jika objek cinta yang dimaksud bukan lawan jenis, maka pusat yang sebenarnya tetap libido seksual, hanya saja itu diproyeksikan kepada hal lain. Apabila energi yang berpusat pada libido seksual itu diproyeksikan kepada hal lain atau aktifitas lain, energi tersebut akan mengalami perubahan dari kehendak mewujudkan tujuan seksual, menjadi bentuk lain yang kreatif.[4]
Freud adalah orang pertama yang mengajukan teori cinta koheren yang dilandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dia menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta karena kita mengikuti aturan-aturan yang tertanam di alam bawah sadar kita.[5]
Erich Fromm, pakar Psikoanalisis, melihat adanya unsur-unsur mendasar dalam segala bentuk cinta sejati. Unsur-unsur itu mencakup kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat dan pengetahuan. Rasa hormat hanya mungkin muncul pada individu yang merasa tidak perlu mendominasi, mengendalikan atau memanfaatkan orang lain. Cinta adalah bocahnya kemerdekaan. Dan jelas, orang tidak bisa mencintai apa yang tidak diketahuinya.[6]
Sementara itu, tokoh psikologi Humanistik, Abraham Maslow, memiliki gagasan bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, untuk berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Kebutuhan dasar tersebut tersusun secara hirarkhis dalam lima strata yang bersifat relatif, yaitu :
a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa’ali).
b. Kebutuhan akan keselamatan.
c. Kebutuhan akan rasa aman.
d. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki.
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri.[7]
Bagi Maslow, perasaan cinta dan memiliki tidak hanya didorong oleh kebutuhan seksualitas. Namun lebih banyak didorong oleh kebutuhan kasih sayang. Ia sepakat dengan definisi cinta yang dikemukakan oleh Karl Roger, bahwa cinta adalah “Keadaan dimengerti secara mendalam dan menerima dengan sepenuh hati”. Perasaan cinta yang sesungguhnya adalah perasaan saling percaya dengan hubungan sehat penuh kasih. Tanpa adanya perasaan saling percaya, maka hubungan cinta seseorang akan menjadi rapuh dan rusak. Kebutuhan cinta adalah meliputi cinta yang memberi dan cinta yang menerima.[8]

[1] Fahruddin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Tinta, Yogyakarta, 2002, hlm. 16.
[2] Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 168.
[3] James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 263.
[4] Fahruddin Faiz, op.cit., hlm. 36.
[5] Megan Tresidder, Risalah Cinta dan Nafsu, Kata Hati, Yogyakarta, 2005, hlm. 35.
[6] Lynn Wilcox, Sufism and Psychology, terj. IG. Harimurti Bagoesaka, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf Sebuah Upaya Spritualisasi Psikologi, PT. Serumbi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm. 282.
[7] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 70-71.
[8] Ibid., hlm. 76-77.