CINTA DAN BENCI

cinta semu
Hati adalah wadah perasaan, seperti amarah, senang, benci, iman, ragu, tenang, gelisah, dan sebagainya. Kesemuanya tertampung di dalam hati. Setiap orang tentu pernah mengalami perbedaan gejolak hati dan perpindahan yang begitu cepat antara senang dan susah, kegelisahan dan ketenteraman, bahkan cinta dan benci. seseorang tentu pernah mengalami hatinya menginginkan sesuatu, tetapi akal orang itu menolaknya. Ini bukti bahwa orang itu tidak menguasai hatinya. Allah yang menguasainya.
Ketika terjadi gejolak yang berbolak itu, itu adalah bukti adanya peranan Tuhan dan kedekatan-Nya kepada hati manusia. Akan tetapi, jangan menduga bahwa semua yang tertampung di dalam hati atau perubahan dan terbolak-baliknya perasaan adalah hasil perbuatan Tuhan yang berlaku sewenang-wenang. Jangan menduga demikian karena nafsu dan setan pun ikut berperan dalam gejolak hati. Ada waswas dan rayuan yang dilakukan setan. Ada juga dorongan nafsu manusia. Jika bisikan berkaitan dengan tuntunan tauhid atau ajakan Nabi Muhammad Saw, ketika itu pilihlah ajakan tersebut karena yang menyerunya ketika itu adalah hati yang digerakkan oleh Allah.[1]
Al-Qur’an surat al-Anfal ayat 63, yang berbicara dalam konteks penyatuan hati dan jalinan hubungan harmonis antara dua kelompok masyarakat Madinah Aus dan Khazraj yang tadinya selama bertahun-tahun berperang, menegaskan bahwa:
Dia (Allah Yang Maha kuasa Yang mempersatukan hati mereka. Seandainya engkau membelanjakan semua apa yang berada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan mereka. (Qs. al-Anfal: 63).
Ayat ini mengingatkan kita semua bahwa cinta tidak dapat dibeli dengan harta. la hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur.
Setiap orang memiliki naluri cinta dan benci. Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak dapat lepas dari kehidupan. Seandainya semua orang hanya membenci, niscaya hidup tidak akan berhasil. Demikian juga sebaliknya, jika segala sesuatu disenangi atau dicintai termasuk yang bertolak belakang maka hidup pun tidak akan tegak.
Kebencian dapat bertambah bila keinginan dan kebutuhan tidak terpenuhi, padahal yang diinginkan itu dimiliki orang lain. Di sisi lain, kecintaan kepada sesuatu akan sangat dipertahankan bila sesuatu itu sangat dibutuhkan atau langka.
Kebencian melahirkan permusuhan yang pada gilirannya melahirkan perkelahian, bahkan pertumpahan darah serta pembinasaan jiwa dan harta. Allah Swt mempersatukan jiwa masyarakat Islam melalui ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Kekikiran dan kelobaan terhadap kenikmatan materi dikikis dengan menyadarkan manusia bahwa ada kenikmatan yang melebihinya, yakni kenikmatan ukhrawi. Hidup duniawi hanya bersifat sementara, dan ada hidup sempurna lagi abadi di akhirat nanti.[2]
Jalan meraih hal tersebut antara lain adalah kesediaan memberi dan berkorban untuk sesama. Demikian itu sebagian tuntunan Allah yang disampaikan oleh Rasul Saw, yang kemudian diterima dengan penuh kesadaran oleh kaum mukminin. Itulah yang melahirkan cinta dan menjauhkan benci dari hati mereka sehingga hati mereka saling terpaut dan pada akhirnya lahir hubungan harmonis. Di tempat lain ditegaskan-Nya bahwa,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah Yang Maha Pemurah akan menjadikan bagi mereka wudda (cinta plus). (Qs. Maryam: 96)
Dengan demikian, dia mampu memberi dan menerima mawaddah. Dia tidak akan bertepuk sebelah tangan.
Banyak sekali orang yang dinilai telah menjalin cinta antar-mereka sebelum pernikahan, tetapi ternyata, setelah pernikahan, cinta itu layu, bahkan terjadi perceraian dan permusuhan. Sebaliknya, dulu banyak pernikahan yang tidak didahului oleh cinta, bahkan oleh perkenalan pun, tetapi kehidupan rumah tangga mereka sedemikian kukuh dan ternyata antara mereka terjalin hubungan cinta yang demikian mesra melebihi kemesraan para muda-mudi dewasa ini yang “bercinta” sebelum pernikahan.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa ada keterlibatan Allah dalam langgengnya cinta yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang beriman dan beramal saleh atau, dengan kata lain, kepada mereka yang mengikuti tuntunan-tuntunan-Nya.
Dua orang yang bercinta akan melakukan penyatuan diri sehingga masing-masing bagaikan berkata kepada kekasihnya: “Jika engkau berbicara maka kata hatiku yang engkau ucapkan, dan bila engkau berkeinginan maka keinginanmu yang aku cetuskan. Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”. Makna inilah yang diisyaratkan oleh kata anfusikum pada ayat dalam surat ar-Rum ayat 21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21)
Kata tersebut adalah bentuk jamak dari kata nafs yang antara lain berarti jenis, diri, atau totalitas sesuatu. Penggunaan kata anfusikum mengisyaratkan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi nafsin wahidah diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, dalam keluh kesah dan perasaannya, bahkan dalam menarik dan mengembuskan napasnya. Itu sebabnya pernikahan dinamai zawaj, yang berarti keberpasangan, di samping dinamai juga nikah yang berarti penyatuan ruhani dan jasmani.
Penyatuan itu harus diperjuangkan. Dua orang yang lahir dari orang tua yang sama, hidup di tengah keluarga yang sama pula, tidak otomatis menyatu pikiran dan perasaan serta serupa kecenderungan dan keinginannya, apalagi dua orang yang berbeda jenis kelamin dan lahir serta besar dalam lingkungan keluarga yang berbeda.[3]

[1] M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 146
[2] Ibid, hlm. 147
[3] Ibid, hlm. 147-148


















No comments:

Post a Comment