JALAL AL-DIN RUMI: YANG MABUK KASIH ALLAH

jalaluddin rumi
Nama Rumi yang sebenarnya adalah Jalal al-Din Muhammad, namun belakangan ia lebih dikenal sebagai Jalal al-Din Rumi atau Rumi saja. Ia dilahirkan di Balkh pada 6 Rabi’ul Awal 604 Hijriyah atau bertepatan 30 Setember 1207.[1]
Orang-orang Arghan dan Persia lebih suka memanggilnya dengan sebutan Jalaluddin “Balkhi”, karena keluarganya tinggal di Balkhi sebelum berhijrah ke arah barat. Bahauddin Walad, ayah Jalaluddin, tinggal dan bekerja sebagai hakim dan khitab dengan kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada Tasawuf. Dia dapat memutuskan perkara, dan memiliki kekuatan melihat hal-hal yang belum terjadi dan yang ada dibalik sesuatu, walaupun tidak pernah menjadi seorang sufi dalam arti yang lazim. Dia mempunyai beberapa orang anak, tetapi hanya Jalaluddin yang tumbuh dewasa dan disebut-sebut oleh sumber-sumber terkemudian.[2]
Sekitar tahun 601 H / 1219 M, Baha al-Din diam-diam meninggalkan kotanya, Balkh, dalam rangka melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Karena menyadari kemungkinan tidak kembali lagi, ia mengajak keluarga dan sejumlah kecil sahabatnya. Kota pertama yang ia kunjungi selama perjalanan itu adalah Nishapur. Menurut riwayat, ia bertemu dengan Farid al-Din ‘Attar, seorang penyair terkenal yang menghadiahinya salinan karyanya Asarnameh (Kitab misteri-misteri) ia memberi tahu Baha al-Din bahwa putranya, Rumi akan menyalakan api dunia pecinta Ilahi. Ia juga bertemu guru agung, Syaikh Shihab al-Din ‘Umar Surahwardi, seorang sufi terkenal lainnya di sana.[3]
Dari Nishapur, kemudian ia menuju ke Bagdad. Di sinilah ia menerima kabar menyedihkan tentang pengepungan Balkh, dan penghancuran yang dilakukan oleh bala tentara Jengis Khan, dari Mongol.
Pada tahun 617 H / 1220 M, Baha al-Din meninggalkan Bagdad menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan dengan perjalanan menuju Damaskus dan Malatiya (Melitene). Dari Malatiya ia menuju ke Arzijan (Armenia) dan kemudian ke Zaranda, sekitar empat puluh mil dari barat daya Konya, yang menjadi tempat tinggalnya bersama keluarganya selama empat tahun.[4]
Zaranda / Laranda (Karaman) adalah bagian dari kerajaan Seljuk, dimana Alauddin Kaykobad memerintah. Di sinilah ibu Jalaluddin, Mu’min Khatun meninggal dunia, makamnya yang sederhana sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang yang mengaguminya.[5]
Sang Raja yang sangat menghargai ilmu dan filsafat serta mendukung berbagai macam kegiatan ilmiah, menulis surat kepada Bahaudin menawarkan tempat tinggal baru serta jabatan resmi di Madrasah (Universitas) di Konya. Begitu Bahauddin menerimanya Sang Raja menyambut dirinya dan kelurganya dengan hangat. Bahauddin menetap di Konya dan tinggal di sana beberapa tahun. Karena Konya atau Konium kuno juga disebut Rum, maka Jalaluddin memakai nama Rumi sebagai nom de plume-nya.[6]
Di Laranda, Jalaluddin menikahi seorang gadis muda bernama Jawhar Khatun, putri Lala Syaraf al-Din dari Samarqand.[7] Ketika menikah Jalaluddin berusia delapan belas tahun namun ada juga yang menyebutkan bahwa Jalaluddin menikah pada usia dua puluh satu tahun.
Pada tahun 1226 M, putra pertamanya lahir diberi nama Sultan Walad, yang merupakan nama kakeknya, Bahauddin Walad. Kemudian putra kedua lahir pada tahun 1228 M, diberi nama Alauddin yang merupakan saudara laki-laki Jalaluddin yang meninggal di Laranda.[8]
Menurut tradisi nenek moyangnya, Rumi tergolong masih muda ketika mulai mempelajari ilmu-ilmu Eksoterik (lahir). Dia mempelajari berbagi bidang keilmuan, meliputi tata Bahasa Arab, ilmu Perpajakan, al-Qur’an, fiqih, ushul fiqih, tafsif, sejarah, ilmu tentang doktrin-doktrin atau asas-asas keagamaan, teologi ,logika, filsafat, matematika dan astronomi.
Pada saat ayahnya meninggal dunia (628 H / 1231 M), dia telah menguasai semua bidang keilmuan tersebut. Namanya ketika itu sudah dapat dijumpai dlam deretan nama-nama ahli hukum Islam. Karena keilmuannya tersebut, tidak mengherankan jika pada usia 24 tahun, dia telah diminta untuk menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai da’i sekaligus ahli hukum Islam.[9] Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa sang ayah laksana danau besar, tetapi sang anak adalah samudra luas.[10]
Sekitar satu tahun setelah wafatnya ayah Rumi, Burhanuddin Tirmizi, salah seorang murid Bahauddin datang ke Konya untuk memberikan beberapa petunjuk baru kepada Rumi. Atas saran Burhanuddin inilah Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo. Di sini Rumi berdiam di Madrasah Halawiyah dan menerima bimbingan lebih lanjut dari Kamal al-Din bin al-Azhim. Dari Aleppo, Rumi pindah ke Damaskus dan tinggal di Madrasah Maqdisiyah. Di sini ia memperoleh kesempatan berharga untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh agung seperti Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi, Sa’ad al-Din al-Hanawi, Ustman al-Rumi, Awhad Al-Din Al-Kirmani dan Sadr al-Din al-Qunyawi.[11]
Kemudian Rumi kembali ke Konya menggeluti pelajaran dan memberikan bimbingan spiritual hingga gurunya, Burhanuddin wafat. Rumi terus mengajar di Madrasah Khudavandgar yang menarik perhatian murid-murid dari berbagai penjuru.
Pada akhir Oktober 1244, sesuatu yang tidak terduga terjadi, pada perjalanan pulang dari Madrasah, Jalaluddin bertemu dengan seorang yang tidak dikenalnya dan mengajukan pertanyaan kepadanya, sebuah pertanyaan yang membuat guru besar ini pingsan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, orang yang tidak dikenal itu menanyakan kepadanya bahwa antara Muhammad Rasulullah dan Bayazid Bisthami seorang sufi dari Persia, siapa yang lebih agung.[12]
Peristiwa inilah yang mendorong Rumi meninggalkan ketenaran dan mengubahnya dari seorang teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik. Karena kuatnya pesona kepribadian Syamsuddin Tabriz, Rumi lebih memilih untuk menghentikan aktifitasnya sebagai guru profesional dan pendakwah. Hal ini dilakukan semata-mata demi memperkuat persahabatannya dengan darwis. Bagi Rumi, Syam adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna.
Jalaluddin dan Syam tidak terpisahkan lagi mereka menghabiskan hari-hari bersama. Menurut riwayat selama berbulan-bulan mereka dapat hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, ketika bersama-sama menuju cinta Tuhan. Hubungan ini menyebabkan rasa ingin tahu dan kecemburuan para murid Rumi yang telah terputus sepenuhnya dari bimbingan dan diskusi dengan gurunya. Akibatnya, mereka menyerang Syams dengan celaan dan ancaman kekerasan. Hal ini segera dirasakan oleh Syams sehingga ia meninggalkan Rumi setelah tinggal di Konya selama enam belas bulan menuju Damaskus.[13]
Betapa menderitanya Rumi atas kepergian sahabatnya, Syams. Perpisahan ini menyakitkan Rumi dan melukai perasaannya. Namun pada saat inilah dia mulai berubah, dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia menulis beberapa surat dan pesan kepada Syams yang termuat dalam syair-syairnya. Akhirnya setelah ia mengetahui bahwa Syams ada di Damaskus, dia mengutus anaknya, Sultan Walad untuk meminta Syams datang kembali ke Konya.
Dalam perjumpaanya di Konya, mereka saling berpelukan dan saling berlutut di hadapan temannya, sehingga tidak ada yang tahu siapa sang kekasih dan siapa yang terkasih. Keakraban hubungan mereka tumbuh sekali lagi dan begitu meluap-luap sehingga beberapa murid Rumi, dengan bantuan putra Rumi, Alauddin memutuskan untuk mengirimkan Syams ke tempat yang tidak ada jalan kembali. Suatu malam mereka memangilnya keluar dari rumah Jalaluddin. Setelah menusuknya, mereka membuangnya di sumur dekat tempat itu. Ketika ayahnya tidur, mereka cepat-cepat menguburkan badan Syams yang diambilnya dari dalam sumur, menutupi kuburan itu dengan semen yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Sultan Walad mencoba menenangkan kecemasan ayahnya, dengan mengatakan bahwa setiap orang mencari Syams.[14]
Karena dibakar rasa rindu yang tak tertahankan lagi, Rumi akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri ke Damaskus, dengan harapan untuk menemukannya, ia kembali lagi ke Konya dan mengangkat Syaikh Shalah al-Din Faridun Zarkub, seorang darwis dan tukang emas untuk menjadi Khalifah yang menggantikan Syams.
Ketika Shalah al-Din wafat, Rumi kemudian menunjuk Chelebi (Sayyid) Husam al-Din untuk menggantikanya. Dengan khalifah baru inilah Rumi menemukan sumber inspirasi dalam penulisan Matsnawi. Segera setelah ia kembali ke Damaskus, Rumi mendirikan tarikatnya sendiri yang disebut Maulawi, nama yang diambil dari gelar kehormatannya “Maulana” (Guru Kami), yang diberikan oleh para murid kepada sang guru tercinta, Rumi. Sementara itu ia masih meneruskan penulisan Matsnawi atas permintaan Husam al-Din selama lebih dari 15 tahun.
Tidak lama setelah pekerjaan itu selesai kesehatan Rumi memburuk dan jatuh sakit. Selama hari-hari terakhir hidupnya, Syaikh Sadr al-Din al-Qunyawi dan sejumlah darwis lainnya mengunjungi Rumi. Dalam salah satu percakapan dengan Rumi, Syaikh Sadr al-Din mengatakan bahwa semoga Allah segera menyembuhkanmu, kemudian Rumi menjawab, ketika antara yang mencinta dan yang dincinta tinggal sehelai pakaian tipis, tidakkah engkau menginginkan cahaya bersatu dengan Cahaya.[15]
Minggu, 16 Desembar 1273 H, Rumi akhirnya berpulang ke rahmatullah bersamaan dengan terbenamnya mentari di Konya. Diiringi oleh rasa hormat, akhirnya mahaguru yang cemerlang ini terbaring diperistrihatannya yang terakhir.[16]
Setelah wafat, Rumi meninggalkan karya-karya yang indah yang dipersembahkan bukan hanya bagi kaum Muslim saja melainkan seluruh umat manusia. Karya-karya yang utama adalah sebagai berikut:
1. Maqalat-i Syams-i Tabriz (Percakapan Syams Tabriz)
Karya ini dianggap sebagai buah persahabatan intim Rumi dan sahabatnya, Syams al-Din Tabriz. Karya ini berisikan beberapa dialog mistik antara Syams sebagai guru dan Rumi sebagai murid. Sekalipun karya tersebut menjelaskan perihal kehidupan, namun menurut Nicholson lebih jauh lagi ia menerangkan beberapa ide dan doktrin sang penyair.[17]
2. DivanSyamsi-iTabriz
Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti kasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini, Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diraihnya pada jalan tasawuf. Kitab ini terdiri atas 36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.[18]
3. Matsnawi-i Ma’nawi
Artinya adalah karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman yang dibagi menjadi 6 jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Kitab ini selesai dikerjakan selama 12 tahun sejak dituturkan Rumi kepada Husamaddin.[19]
Menurut Anand Krishna, Matsnawi bukanlah sekedar text book, tetapi work book (buku kerja, kerja nyata) bila kita memperlakukan sebagai buku text saja, maka kita tidak akan memperoleh apa-apa dari Matsnawi, kecuali hanya mendapatkan beberapa kisah baru saja, tapi jika diperlakukan sebagai work book, Matsnawi bisa menjadi teman hidup kita dan harus dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.[20]
4. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di dalamnya)
Karya prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis oleh putranya yang paling tua, Sultan Walad Eva de Vitray-Meyerovitch yang menterjemahkannya ke dalam bahasa Prancis, menggambarkannya sebagai “karya yang benar-benar menarik, bukan saja untuk memahami pikiran Sang Guru dan Sufisme pada umumnya, tapi juga karena kedalaman dan keunggulan analisis isinya, yang menjadikan inisiasi tentang dirinya sendiri. Seperti Matsnawi, Fihi Ma Fihi sangat bersifat didaktif (pengajaran), dan sebagai mana ditunjukkan Prof. De Vitray,” di dalamnya, maksud didaktika ini dipaparkan lebih jelas lagi.”[21]
Rumi, dalam karyanya Fihi Ma Fihi yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para sufi ini menjelaskan lebih jauh tentang tiga jenjang yang dilewati manusia. Pada jenjang pertama manusia menyembah apa saja; manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian ketika sedikit lebih maju, manusia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata: “Aku menyembah Tuhan”, maupun “Aku tidak menyembah Tuhan.” Karena pada tahap ini ia telah melewati tahap yang ketiga.[22]
5. Ruba’iyyat
Bunga rampai ini terdiri atas 3.318 bait puisi. Melalui kitab ini, Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang agung, bukan saja dalam sejarah sastra Persia, melainkan juga dalam sejarah sastra dunia.[23]
6. Maktubat (Surat Menyurat)
Berisikan 145 surat yang rata-rata sepanjang 2 halaman. Menurut William C. Chittick kebanyakan surat-surat ini ditujukan kepada pangeran-pangeran dan para bangsawan Konya. Namun demikian, surat-surat itu tidak semata-mata berkaitan dengan ajaran spritual Rumi, namun termasuk juga surat-surat rekomendasi atau surat-surat yang ditulis atas nama murid atau sahabatnya karena permintaan untuk berbagi tujuan.[24]
7. Majlis Sab’ah (Tujuh Pembahasan)
Karya ini juga merupakan karya prosa, berisikan sejumlah pidato dan kuliah Rumi yang diberikan bukan saja untuk kaum sufi, tetapi juga khalayak umum. Pidatonya kebanyakan dalam bentuk nasehat dan konseling, dan agaknya disampaikan sebelum pertemuannya dengan Syams al-Din Tabriz.[25]
Semua karya-karya sastra Rumi ini merupakan ciri khas karunia atau barokah yang keluar dari kehidupan Rumi yang mendasari pembentukan Thariqat Mawlawi, yang secara luas dianut oleh para sufi yang masih hidup.

[1] Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 1.
[2] Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan, Bandung, tt, hlm. 21.
[3] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit., hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Annemarie Schimmel, Op.Cit., hlm. 23.
[6] Nom de plume adalah samaran dalam menulis sebuah karya. Lihat: Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Negeri Sufi: Kisah-kisah Terbaik, Terj. MS, Nasrullah, Lentera, Yogyakarta, 2000, hlm. 140.
[7] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit., hlm. 3.
[8] Annemarie Schimmel, Op.Cit., hlm. 23.
[9] Willam C. Chittict, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Terj. M Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta, 2001. hlm. 3.
[10] Will Johnson, Rumi: Menatap Sang Kekasih, Terj. Dini Dwi Utari, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hlm. 28.
[11] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit., hlm. 5.
[12] Annemarie Schimmel, Op.Cit., hlm. 26.
[13] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit., hlm. 6.
[14] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono dkk, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 398.
[15] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit, hlm. 9.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 10-11.
[18] Jalaluddin Rumi, Matsnawi (Senandung Cinta Abadi), Yogyakarta, Bentang, 2006, hlm. xvii.
[19] Ibid., hlm. xvii – xviii.
[20] Anand Krishna, Masnawi: Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 21-22.
[21] Mulyadhi Kartanegara, Op.Cit.,hlm. 12-13.
[22] Idries Shah, Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi, Risalah Gusti, Surabaya, 2000, hlm. 158.
[23] Jalaluddin Rumi, Op.Cit., hlm. xix.
[24] Ibid., hlm. 13-14.
[25] Mulyadhi Kartanegara, Loc.Cit.































































No comments:

Post a Comment