MAKNA KEBAHAGIAAN

bahagia
Mendefiniskan kebahagiaan bukanlah hal yang mudah, karena manusia masing-masing memiliki perspektif dan penghayatan yang berbeda tentang istilah ini. Namun pada substansinya perbedaan itu dapat dikembalikan pada kategorisasi istilah ini. Yaitu kebahagiaan itu terkategori dunia ataukah kebahagiaan akhirat.
Bagi manusia yang mendefinisikan kebahagiaan itu sebatas kenikmatan material, maka dapat diduga bahwa karenamereka lalai terhadap kebahagiaan akhirat atau justru tidak mempercayai jenis kebahagiaan akhirat ini.
Bagi mereka yang mendefinisikan kebahagiaan terkait hal material dan spiritual atau spiritual ansich, dapat dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mempercayai akhirat sebagai tempat kebahagiaan yang tiada akhir.
Dalam kitab Mizan al-Amal, al-Ghazali lebih banyak menggunakan kata (سعادة) dalam banyak tempat untuk menyebutkan eksistensi makna kebahagiaan dalam bahasa Indonesia, di samping kata (الفلاح), (النجاة), (الفوز) dan (الخير).
Kata sa’adah (سعادة) terambil dari kata kerja sa’ida dan as’ada (سَعِدَ) dan (أَسْعَدَ) memiliki bentuk masdar yaitu al-sa’d, su’udah, dan su’ud (السَّعْدُ و السُّعُودَة و السُّعُود) yang menurut Ibn Manzur bermakna (خِلاَفُ الشَّقَاوَةِ) “ketiadaan derita atau bukan kesengsaraan[1]
Dari pemaknaan bahasa ini dapat disimpulkan kebahagiaan adalah lawan dari kesengsaraan, kemelaratan, kemalangan, kesulitan, kesialan. Orang yang berbahagia disebut sa’id dan mas’ud (سَعِيْد) dan (مَسْعُود), dengan bentuk jamak (plural) su’ada’ (سُعَدَاءُ).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu secara istilah bermakna mewujudkan kelezatan, kebaikanmelalui metode pengaturan, aktivitas yang membuahkan, dan kerja sama sosial.
Al-Ghazali dalam banyak tempat dalam kitab ini menggambarkan aneka pemaknaan kebahagiaan. Sementara kebahagiaan dalam pandangan al-Ghazali hakikatnya adalah kebahagiaan akhirat. Sa’adah (سَعَادَة) ini menurut al-Ghazali memuat beberapa makna. Berikut adalah pendefinisan al-Ghazali terhadap kebahagiaan yang disarikan dari sejumlah halaman dalam kitabnya Mizan al-‘Amal.
Pertama, kebahagiaan adalah keabadiaan tanpa kesementaraan, kenikmatan tanpa kepayahan, kegembiraan tanpa kesedihan, kekayaan tanpa kefakiran, kesempurnaan tanpa kekurangan, kemuliaan tanpa kehinaan;[2]
Kedua, kebahagian akhirat adalah setiap apapun yang digambarkan sebagai pencarian dan kesenangan manusia yang mendambakannya. Keabadian yang tidak dikurangi keterputusan masa dan batas waktu. Karena sifatnya yang demikian ini, maka sebenarnya untuk mencapainya tidak diperlukan anjuran untuk menggapainya, juga tidak usah mencela kealpaan setelah diketahui eksistensi kebahagiaan itu.
Ketiga, kebahagiaan menurut al-Ghazali merupakan harapan dan tuntutan manusia segala zaman, yang untuk menempuhnya manusia harus mengenali teori dan mengaplikasikannya.[3]
Keempat, al-Ghazali menyatakan bahwa bahagia adalah wushul atau tercapai tersingkapnya ilham dari Tuhan ketika bersih dari kotoran-kotoran nafsu sehingga melihat surga padahal masih di dunia, karena surga tertinggi itu ada di hatinya, ia mampu memecah dan memaksa syahwat dan akal membebaskan dan menjauhi dari perbudakan syahwat itu, dan manusia juga asyik atau fokus dengan tafakkur dan menganalisa (nazar) serta muthala’ah kerajaan langit dan bumi, bahkan juga menelaah dirinya sendiri dan penciptaan-Nya yang menakjubkan.[4]
Kelima, kebahagiaan adalah ketersingkapan seluruh hakikat atau mayoritas hakikat-hakikat itu tanpa diupayakan dan tanpa kepayahan, bahkan dengan ketersingkapan ketuhanan dalam waktu yang paling cepat. Ini adalah derajat puncak yang dicapai oleh para Nabi yang merupakan kebahagiaan yang dapat dicapai oleh manusia.[5]
Keenam, kebahagiaan dan kesempurnaan nafs adalah terukirnya jiwa itu dengan hakikat-hakikat al-umur al-ilahiyyat dan bersatu dengannya, seolah-olah jiwa atau nafs itu adalah Dia.
Ketujuh, kesempurnaan yang memungkinkan dicapai, yaitu dapat bersama dengan malaikat dalam dimensi alam tinggi (ufuq al-alam) dekat dengan Allah.[6]
Kedelapan, sesungguhnya segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada kebaikan dan kebahagiaan kadang disebut pula sebagai kebahagiaan.[7]



[1] Ibn Mandhur, Lisan Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th, hlm. 599.
[2] Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989, hlm. 3.
[3] Ibid, hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 9.
[5] Ibid, hlm. 13.
[6] Ibid., hlm. 40.
[7] Ibid., 46.





















No comments:

Post a Comment