NILAI-NILAI SPIRITUALITAS IBADAH HAJI

haji berdoa
Adapun nilai-nilai spiritualitas ibadah rohani dalam pelaksanaan ibadah haji, memerlukan persiapan yang sangat besar dan mengumpulkan perbekalan (syarat) terlebih dahulu untuk melakukan perjalanan tersebut, diantaranya adalah; Menemukan seorang pembimbing atau seorang guru, yang diharapkan dapat membimbingnya dalam melaksanakan ibadah haji. Menyiapkan hatinya dengan menyebut kalimat suci Lailaha illaLlahtidak ada tuhan selain Allah Swt”, dan mengingat-Nya dengan merenungi makna kalimat tersebut, dengan ini hati terbangun (sadar) dan hidup, dan menjaga ingatan kepada-Nya sampai seluruh kehidupan batin disucikan dari semua yang lain kecuali Dia.
Selain menyucikan batin, jamaah haji harus menyebut Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, yang nantinya akan menyalakan cahaya keindahan dan kemuliaan-Nya. Setelah itu para jamaah haji batiniyah membungkus dirinya sendiri dalam cahaya ruh suci, mengubah bentuk fisiknya ke dalam esensi batin.[1]
Setelah jamaah beribadah haji dengan rohaninya, nilai-nilai spiritualitas dari ibadah haji dapat terungkap seperti berikut:
1. Ibadah haji merupakan manifestasi ketundukan manusia kepada Allah Swt semata.
Orang yang menunaikan haji meninggalkan segala kemewahan dan keindahan dengan mengenakan busana ihram sebagai manifestasi kefakirannya dan kebutuhannya kepada Allah Swt, serta menanggalkan masalah duniawi dan segala kesibukan yang dapat membelokkannya dan keikhlasan menyembah Tuhannya.
2. Ibadah haji sebagai rihlah muqaddasah (perjalanan suci). Perjalanan haji pada hakekatnya adalah perjalanan suci yang semua rangkaian kegiatannya adalah merupakan ibadah.
3. Ibadah haji adalah laksana muktamar tahunan.
Ibadah haji yang dilaksanakan setahun sekali oleh umat Islam yang datang dari berbagai belahan pelosok bumi ini dan berkumpul bersama-sama dalam satu tempat merupakan suatu pertemuan akbarumat Islam sedunia. Selain untuk menunaikan ibadah haji, mereka juga saling bergaul, saling tukar-menukar informasi, adat istiadat, budaya tanpa ada rasa canggung apalagi permusuhan diantara mereka, mereka merasa satu kesatuan yang utuh dan satu kepentingan yang sama.[2]
4. Haji sebagai ta’zhim (membesarkan) syi’ar Allah Swt.
Peribadatan agama Islam sejalan dengan bentuk-bentuk peribadatan yang melambangkan kebesaran syi’ar Allah Swt. Hal tersebut sangat terasa di saat-saat melaksanakan ibadah haji saat jamaah haji sama-sama berpusat pada Ka’bah al-Musyarrafah sebagai inti syi’ar Allah Swt. Dimana jamaah haji sama-sama bergerak dengan penuh kehusyu’an, bergerak dari arah yang sama, dengan tujuan yang sama pula. Sehingga secara naluri suasana demikian ini membawa jamaah haji pada titik mendekatkan diri kepada Allah Swt.
5. Menunaikan ibadah haji sebagai tadabbur (mengambil pelajaran).
Berbaurnya manusia dari berbagai suku bangsa dengan ragam budaya dan adat istiadatnya memberikan suatu gambaran yang jelas tentang keagungan Allah Swt dengan ciptaan-Nya. Demikian pula dengan saksi-saksi sejarah yang kita temui di tanah suci yang merupakan peninggalan sejarah para Nabi dan bangsa-bangsa terdahulu, akan lebih menambah pengertian dan ketundukan kita kepada Allah Swt yang telah memberikan kita petunjuk dalam hal ini.
6. Dalam pelaksanaan ibadah haji, terdapat tasamuh dan ta’awun (toleransi dan tolong menolong).
Suasana pertemuan akbar semacam ini bukan hanya suatu bentuk budaya atau adat-istiadat. Baik dari cara tutur kata maupun tingkah laku yang mungkin asing satu sama lainnya yang membutuhkan pengertian dan toleransi untuk saling memahami keadaan orang lain dan menghilangkan sifat egois yang mungkin sangat kental sebelumnya.
Dengan demikian, seseorang harus menumbuhkan kembali kesadaran tentang hakikat penciptaan manusia dari asal yang satu yaitu Adam, sehingga antara suku-suku dengan suku lain, antara satu bangsa dengan bangsa lain yang berbeda warna kulit, bahasa dan keberadaannya akan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Mereka berpakaian yang sama, saling bergaul, dilandasi dengan ukhuwah Islamiyah sehingga mereka saling kasih mengasihi, saling ingat mengingatkan dan tolong-menolong. Selain itu juga sebagai transformasi budaya dan adat istiadat.[3]


[1] Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia di Balik Rahasia, Terj. Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), hlm.132-13
[2] Departemen Agama RI, Hikmah Ibadah Haji, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2008), hlm. 96-99
[3] Ibid., hlm. 102-106

















No comments:

Post a Comment