CARA-CARA MEWUJUDKAN ISTIQAMAH

istiqamah
Setiap muslim hendaknya bersikap istiqamah dalam segala hal walaupun hal tersebut tidaklah mudah untuk diperoleh, karena setiap manusia yang hidup di dunia ini tidak ada yang tidak pernah mendapat cobaan. Apabila seseorang tidak ber-istiqamah secara utuh hendaklah melakukan semampunya. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda:
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya dia berkata: Rasulullah Saw pernah bersabda: berlakulah lurus dan saling mendekatkan diri! Katahuilah! Tidak seorangpun diantara kamu bisa masuk ke dalam syurga kerena amalnya, “Mereka (para sahabat) bertanya: “Termasuk aku, dan ketahuilah sesungguhnya amal yang disukai oleh Allah SWT adalah amal yang dilakukan dengan konsisten walaupun sedikit.” (HR. Muslim)[1]
Hadist di atas menghimpun hal-hal penting tentang agama. Nabi memerintahkan umatnya agar ber-istiqamah, yakni berbuat lurus dan benar. Nabi menyadari bahwa istiqamah secara utuh merupakan suatu yang sulit untuk dilaksanakan dan dicapai, oleh karena itu beliau memberikan keringanan yakni minimal berusaha untuk mendekatinya sesuai dengan kesanggupannya.
Pada hakekatnya istiqamah itu bisa dicapai oleh orang yang mampu menghayati kalimat tauhid (laa ilaaha illallah)[2] dan tentunya menghayati kalimat tauhid tersebut lebih susah daripada sekedar mengucapkan dan memahaminya saja. Sebagai perumpamaan tentang pemahaman akan hukum-hukum Newton tentulah berbeda antara pelajar SMA dan seorang insinyur.
Pelajar SMA sudah mengerti betul tentang hukum-hukum tersebut sehingga dapat dapat mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan Hukum Newton tersebut. Meskipun demikian belum berarti bahwa dia sudah menghayatinya.
Hanyalah mereka sudah tenggelam dalam persoalan-persoalan itu sampai ke soal-soal di dalam praktek membuat jembatan, bangunan-bangunan tinggi dan sebagainya barulah bisa dikatakan menghayati pengertian sesungguhnya dari hukum-hukum tersebut. Kalau begitu untuk mewujudkan istiqamah, pembinaannya harus dilakukan terus menerus (rutin) dan tidak bisa sebagai pekerjaan sambilan saja, artinya diperlukan kesungguhan lahir (ijtihad dan jihad) maupun usaha batin (mujahadah).[3]
Dengan tetap waspada terhadap berbagai macam bentuk rayuan dan godaan. Dalam tafsir al-Munir disebutkan tentang hal-hal yang harus diperhatikan jika seorang ingin mewujudkan istiqamah, yaitu:
1. Taat secara terus-menerus.
2. Pengendalian hawa nafsu.
3. Kewaspadaan terhadap pelanggaran.[4]
Menurut al-Faqih Abu Laits, sebagaimana dikutip oleh Usman al-Syakir al-Khaubawiyyi, tanda keteguhan hati (istiqamah seseorang ialah apabila ia memelihara sepuluh hal, dengan mewajibkannya atas dirinya sendiri, yaitu:
1. Memelihara lidah dari menggunjing orang lain
2. Manjauhkan diri dari berburuk sangka.
3. Menjauhkan diri dari memperolok-olok orang lain.
4. Menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan.
5. Memelihara kejujuran lidah.
6. Menafkahkan harta pada jalan Allah Swt.
7. Manjauhkan diri dari sifat boros.
8. Tidak ingin diunggulkan ataupun dibesarkan dirinya.
9. Memelihara shalat lima waktu.
10. Teguh hati dalam manganut ahli sunnah wal jamaah.[5]
Dalam bukunya A. Ilyas Ismail disebutkan bahwa indikasi keistiqamahan seseorang atau orang disebut istiqamah apabila dia konsisten dalam empat hal, yakni:
1. Konsisten dalam memegang teguh akidah tauhid.
2. Konsisten dalam menjalankan perintah (al-Awamir) maupun berupa menjauhi larangan (al-Nawahi).
3. Konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus dan ikhlas karena Allah Swt.
4. Konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik dalam waktu lapang maupun dalam waktu susah.[6]
Dari indikasi-indikasi keistiqamahan seseorang, maka jelas bahwa dengan sikap istiqamah berarti istiqamah itu berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah dan amaliah yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap muslim, karena dengan istiqamah tersebut akan terjadi hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain serta manusia dengan alam sekitarnya sehingga akan tercipta ketentraman, kemakmuran dan kebahagiaan.


[1] Imam Abi Husain Muslim Bin Hajjaj al-Qusyairy an-Nisabury, Shahih Muslim, Juz 4, (Beirut: Darul Fikr, T.Th), hlm. 2171.
[2] M. Imamuddin Abdul Rahim, Kuliah Tauhid, (Bandung: Pustaka Perpustakaan ITB, 1982), hlm. 90.
[3] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Sleman: el-SAQ Press, 2005) Cet. 1, hlm. 25.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Darul Fikr, t.th), Jilid XI, hlm. 168.
[5] Usman al-Syakir al-Khaubawiyyi, Butir-Butir Mutiara Hikmah, Terj. Rosihin Abdul Gani, (Semarang: Wicaksana, 1989), hlm. 416
[6] A. Ilyas Ismail, Pintu-Pintu Kebaikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) Cet. 1, hlm.155.
































No comments:

Post a Comment