INILAH CINTA

 
16
Cinta sejati selalu membawa pertumbuhan, bukan bersifat posesif yang obsesif (keinginan memiliki dilandasi motivasi yang salah, yaitu hanya untuk menyenangkan diri sendiri). Yang dimaksud dengan pertumbuhan, yaitu: cinta itu membawa kebaikan bagi seorang yang sedang mencintai dan bagi seorang yang dicintai. Tidak membuat seseorang tertekan, dipaksa untuk mencintai, atau mengorbankan sesuatu secara salah dengan alasan cinta.
Banyak remaja salah mengartikan cinta dengan jatuh cinta, namun sayangnya, pengalaman jatuh cinta itu hanya sementara, dengan siapapun seseorang jatuh cinta, cepat atau lambat, perasaan itu akan hilang dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan; bahwa cinta yang sejati bukanlah perasaan meluap-luap yang menguap, atau hanya diukur dalam waktu yang singkat, tetapi cinta itu membutuhkan suatu proses. Cinta tak bisa diuji dalam keterburu-buruan, cinta membutuhkan pengenalan dan pengalaman yang panjang.
Sedangkan menurut para pakar, cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Banyak orang yang memandang cinta sebagai perasaan yang bertujuan secara ekslusif terhadap orang idaman yang dikenal sebagai “Kekasih”. Salah satu cara hal yang paling lazim dalam menjawab sebuah pertanyaan “Apakah cinta itu?”, yaitu dengan cara mengaku bebal, dengan mengemukakan bahwa tak seorangpun bisa mendefinisikan cinta, atau bahwa setiap orang memiliki definisi sendiri-sendiri, sehingga tak ada definisi tunggal yang mencakup semua orang. Diantara semua pengalaman yang dimiliki manusia, cinta merupakan salah satu hal yang paling misterius, dalam arti bahwa seseorang pasti bergantung terhadap pengalamannya sendiri.[1]
Sedangkan menurut Drs. Sujarwa, secara sederhana cinta bisa dikatakan sebagai paduan rasasimpati antara dua makhluk, yang tak hanya sebatas dari lelaki dan wanita. Cinta bisa juga diibaratkan sebagai seni sebagaimana halnya bentuk seni lainnya, maka diperlukan pengetahuan dan latihan untuk menggapainya. Cinta tak lebih dari sekedar perasaan menyenangkan, untuk mengalaminya harus terjatuh ke dalamnya. Hal tersebut didasarkan oleh berbagai pendapat berikut:
1. Orang melihat cinta pertama-tama sebagai masalah dicintai dan bukan masalah mencintai.
Hal ini akan mendorong manusia untuk selalu mempermasalahkan bagaimana supaya dicintai, atau supaya bisa menarik orang lain.
2. Orang memandang masalah cinta adalah masalah objek dan bukan masalah bakat.
Hal ini mendorong manusia untuk berpikir bahwa mencintai orang lain itu adalah soal sederhana, sedangkan yang sulit adalah mencari objek yang tepat untuk mencintai atau dicintai.
3. Cinta tidak perlu dipelajari.
Di dalamnya ada pencampuradukan antara pengalaman mula pertama jatuh cinta dan keadaan tetap berada dalam cinta.[2]
Menurut Erich Fromm, cinta adalah suatu seni yang memerlukan pengetahuan serta latihan. Cinta adalah suatu kegiatan dan bukan merupakan pengaruh yang pasif. Salah satu esensi dari cinta adalah adanya kreatifitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek memberi dan bukan hanya menerima.
Kata cinta mempunyai hubungan pengertian dengan konstruk lain, seperti kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, ataupun dengan aktifitas pemujaan. Secara luas, kasih sayang dapat diartikan sebagai perasaan sayang, cinta, atau perasaan suka. Dalam kasih sayang menuntut adanya dua belah pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu yang mengasihi dan yang dikasihi.
Dalam pengalaman hidup sehari-hari, kehidupan seseorang akan memiliki arti yang lebih besar jika mendapatkan perhatian dari orang lain. Jika demikian, perhatian merupakan salah satu unsur dasar dari rasa cinta kasih.[3]
Cinta amat penting dalam kehidupan manusia. Hidup tanpa cinta adalah kosong. Hidup seseorang bisa dikatakan belum sempurna jika tak pernah dihampiri rasa cinta, karena hidup manusia tidaklah seorang diri, melainkan selalu melibatkan pihak lain. Istilah cinta tersebut harus diartikan sebagai yang mencintai dan yang dicintai. Adapun pihak lain yang dimaksud bukanlah sekedar manusia, akan tetapi semua yang ada wujudnya.[4]
Dalam diri manusia ada dua hal yang dapat menggerakan perilaku, yaitu akal budi dan nafsu. Perasaan cinta dapat dipengaruhi oleh dua sumber hal tersebut, yaitu perasaan cinta yang digerakan oleh akal budi, serta perasaan cinta yang digerakan oleh nafsu.
Cinta yang digerakan oleh akal budi disebut tanpa pamrih atau cinta sejati, sedangkan cinta yang digerakan oleh nafsu disebut cinta pamrih. Cinta tanpa pamrih adalah kebaikan hati, sedangkan cinta pamrih disebut cinta utilitaris atau cinta demi diri sendiri.
Cinta sejati tak ada kehendak untuk memiliki ataupun menguasai, yang ada hanyalah rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan dengan yang dicintai dan tumbuh secara wajar bersifat sukarela.
Cinta kasih sejati tak ada hubunganya dengan kenikmatan atau keinginan.
Cinta kasih yang sejati tak menimbulkan kewajiban, melainkan tanggung jawab, tidak menuntut balas, lebih banyak memberi dari pada menerima.
Jadi, cinta sejati adalah cinta kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang dalam lubuk sanubari setiap manusia bukan kerena dorongan suatu kepentingan, melainkan atas dasar kesadaran.[5]
Menurut Drs. Sujarwa tentang cinta, ada sebuah ungkapan yang terurai dari beliau dan perlu untuk disimak:
Cinta kasih sejati tak mengenal iri, cemburu, persaingan, dan sebagainya, yang ada hanyalah perasaan yang sama dengan yang dicintai, karena dirinya adalah diri kita, dukanya adalah duka kita, gembiranya adalah kegembiraan kita. Bagi cinta kasih pengorbanan adalah suatu kebahagiaan, sedangkan ketidak-mampuan membahagiakan atau meringankan beban yang dicintai atau dikasihi adalah suatu penderitaan”.[6]
Filusuf Rusia, Salovjev dalam bukunya “Makna Kasih” mengatakan jika seorang pemuda jatuh cinta pada seorang gadis secara serius, maka ia akan terlempar keluar dari cinta dirinya sendiri, dan ia mulai hidup untuk orang lain.
Sedangkan Yose Ortega Y. Gasset dalam “On Love” mengatakan bahwa di kedalaman sanubari seorang pecinta merasa dirinya bersatu tanpa syarat dengan objek cintanya. Persatuan tersebut bersifat kebersamaan yang mendasar serta melibatkan seluruh eksistensinya.[7]


[1] Stephen Palmquis, Pohon Filsafat: The Tree of Philosophy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke-1, 2002, hal 415.
[2] Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke-3, 2005, hal 29-30.
[3] Ibid., hal 30.
[4] Ibid., hal 32.
[5] Ibid., hal 33.
[6] Ibid., hal 34.
[7] Ibid., hal 35.

































No comments:

Post a Comment