KRITERIA WANITA SHALIHAH

gadis pemalu
Realitas dalam kehidupan pada zaman saat ini masih menunjukkan bahwa tidak semua wanita dikatakan shalihah, oleh karena itu untuk menyebut seorang wanita itu shalihah diperlukan beberapa kriteria. Dalam mengemukakan kriteria tersebut penulis akan mengacu pada surat an-Nisa’ ayat 34:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتُ حَافِظَاتُ لِلْغَيْبِ بِماَ حَفِظَ اللهُ
Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (Q. S. An Nisa’: 34)
Ayat ini menunjukkan adanya perempuan shalihah yang bisa menolak anggapan bahwa tidak ada perempuan yang shalihah. Sifat-sifatnya hanya ada dua, yaitu ta’at dan menjaga kehormatan.
Di antara tanda-tanda keshalehan itu ialah tunduk dan taat kepada Allah dalam menjalankan segala perintah-Nya, menjalankan hak-hak dan kepemimpinan rumah tangga. Di antaranya ialah patuh terhadap kepemimpinan suami yang memang telah diciptakan untuknya, dalam memelihara rahasia suami istri dan rumah tangga yang tidak boleh diketahui oleh siapapun selain mereka berdua. Terhadap istri-istri semacam ini suami tidak perlu mendidik mereka.
Adapun wanita yang tidak shalihah (durhaka) ialah mereka yang berusaha meninggalkan hak bersuami istri, sombong dan mendurhakai pusat kepemimpinan, bahkan melanggar tuntutan fitrah mereka, yang akibatnya membawa kehancuran kehidupan bersuami istri. Terhadap wanita atau istri semacam ini ayat ini memberikan jalan untuk memperbaikinya yaitu diserahkan pada suami untuk diberikan bimbingan dan pimpinan. Suami hendaknya mengatasi istrinya dengan berbagai macam cara, seperti memberikan peringatan, memisahkan diri dari tempat tidur, atau kalau perlu memukul. Namun perlu diketahui bahwa tingkatan cara ini perlu disesuaikan dengan jenis wanitanya.
Berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 34 dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri wanita shalihah adalah sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah
Taat kepada Allah berarti patuh dan tunduk kepada semua aturan Allah dalam menjalani kehidupan ini, termasuk aturan hidup bersuami istri. Ciri ini merupakan pangkal atau induk dari ciri-ciri yang lain. Taat kepada Allah secara spesifik dapat diartikan mematuhi atau menjalankan perintah Allah kaitannya dengan ibadah agama.
Seorang wanita dikatakan shalihah diantaranya bisa menjaga hubungannya dengan al-Khaliq yakni melaksanakan kewajibannya seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sabda Rasulullah Saw:
إِنَّ امْرَأَةً إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهاَ وَ صَامَتْ شَهْرَهاَ وَ حَفِظَتْ فَرْجَهاَ وَ أَطَاعَتْ زَوْجَهاَ قِيْلَ لَهاَ ادْخُلِيْ الْجَنَّةَ مِنْ كُلِّ بَابٍ ماَ شِئْتَ (رواه أحمد بن حنبل)
Apabila seorang perempuan sembahyang lima waktunya, puasa sebulan Ramadhannya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, niscaya dikatakan kepadanya: “Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad bin Hanbal)[1]
2. Taat kepada suami
Taat kepada suami maksudnya mendahulukan segala perintahnya daripada keperluan diri sendiri atau lainnya. Namun perlu diperhatikan bahwa taat kepada suami bukanlah taat yang buta akan agama. Taat berart menurut perintah yang benar dan baik serta tidak berlawanan dengan perintah agama. Apabila suami memberikan suatu hal yang bertentangan dengan agama, maka tidak wajib bagi istri untuk memenuhinya bahkan ia harus menghindari perintah tersebut.
3. Menjaga Kehormatan
Menjaga kehormatan ada beberapa macam, yaitu menjaga kehormatan diri sendiri ketika suami tidak ada di rumah, menjaga diri dari segala noda dan kecemaran termasuk memelihara harta suami.[2]
Inti dari menjaga kehormatan terletak pada kesadaran seorang wanita akan harga dirinya sebagai manusia yang dalam kontek ini sebagai istri. Sadar akan harga diri berarti pula meninggalkan hal-hal yang tidak patut dilakukan, misalnya tidak menutup aurat sebagaimana mestinya.
4. Bersifat amanah atau dapat dipercaya
Wanita yang shalihah tentunya menjauhi sifat khianat. Apabila suaminya sedang tidak berada di sisinya, ia tetap menjalankan kewajibannya dengan baik yakni menjaga diri dan harta suaminya walaupun sepi dari pengawasan suami. Juga dapat menjaga rahasia-rahasia kehidupan rumah tangga antara ia dan suaminya.
Sikap memelihara yang ada pada dirinya tidak pernah luntur baik dalam keadaan suaminya hadir atau tidak. Dalam menjalankan tugasnya, ia semata-mata hanyalah mencari ridha Allah.

[1] Imam Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 243.
[2] M. Thalib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996), hlm. 11.




















No comments:

Post a Comment