MACAM-MACAM SIKAP SABAR

sabar 55
Manusia senantiasa memerlukan kesabaran setiap saat, dalam segala kondisi. Sebab manusia itu hidup diantara perintah yang harus dikerjakan, larangan yang harus dijauhi, takdir yang harus diterima, dan nikmat yang harus disyukuri. Karena keempat keadaan ini tidak lepas dari manusia, maka sabar harus ada pada manusia sampai mati.
Sesungguhnya kebahagiaan itu terletak pada keberhasilan seseorang dalam usahanya mendekati Allah SWT. dan ini dapat diperoleh dengan cara mengikuti kebenaran dan meninggalkan kebatilan.
Dengan keterangan di atas, maka kesabaran mempunyai bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatannya, diantaranya:
Menurut sahabat Ali bin Abi Thalib dan imam al-Ghazali, sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:[1]
1. Sabar dalam menjalani ketaatan.
Kesabaran semacam ini dapat diperoleh dengan melalui lahir-batin seseorang. Melalui lahirnya, seseorang harus selalu mengerjakan ketaatan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan ketentuan syara’. Sedang melalui batinnya, seseorang harus ikhlas dan menghadirkan hati ketika sedang mengerjakan ketaatan.
2. Kesabaran dalam menjauhi kemaksiatan.
Kesabaran ini juga dapat diperoleh melalui lahir-batin seseorang. Melalui lahirnya, seseorang harus senantiasa meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan. Sedangkan melalui batinnya, dia tidak boleh memberi kesempatan kepada jiwanya untuk memikirkan dan cenderung kepada kemaksiatan. Sebab, dosa itu awalnya adalah bisikan jiwa.
3. Kesabaran dalam mengingat dosa-dosa terdahulu.
Bila kesabaran ini dapat melahirkan perasaan takut dan menyesal, maka kerjakanlah, namun bila tidak, sebaiknya tinggalkanlah. Kesabaran ini akan mengingatkan seseorang akan ancaman-ancaman Allah yang dipersiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang mengerjakan kemaksiatan, yakni siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Siapa saja selalu menjalani kesabaran maka Allah akan memuliakannya.
4. Kesabaran menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kesabaran ini terbagi dalam dua macam, yaitu:
a. Hal-hal yang tidak diinginkan itu langsung datang dari Allah tanpa perantara lagi, seperti sakit, hilangnya harta benda, dan kematian kaluarga.
Kesabaran jenis ini juga dapat diperoleh melalui lahir-batin seseorang. Melalui batinnya, seseorang harus meninggalkan kebiasaan mengeluh atas pendaritaan yang dideritanya. Sedangkan melalui lahirnya, manusia tidak boleh mengadu kepada sesama makhluk Allah Swt dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syara’ ketika menghadapi musibah, seperti menyobek-nyobek pakaian, menjerit-jerit, dan menangis meraung-raung.
b. Hal-hal yang tidak diinginkan itu datang dari makhluk, seperti menyakiti badan, menyinggung perasaan, dan merampas harta.
Yusuf al-Qardhawi, dalam Yunahar Ilyas membagi sabar dalam enam macam, yaitu:
1. Sabar menerima cobaan hidup.
Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran.
2. Sabar dari keinginan hawa nafsu.
Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa kepada Allah Swt.
3. Sabar dalam ta’at kepada Allah Swt.
Dalam mena’ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran, karena dalam beribadah diperlukan kesabaran yang berlipat ganda mengingat banyaknya rintangan baik dari dalam maupun luar diri.
4. Sabar dalam berdakwah.
Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala rintangan. Seseorang yang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran.
5. Sabar dalam perang.
Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat.
6. Sabar dalam pergaulan.
Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, antara orang tua dengan anak, antara tetanggan dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh sebab itu, dalam pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai.[2]
Dalam hal ini, Sa’id Hawwa menyatakan bahwa orang yang ta’at memerlukan kesabaran atas keta’atannya dalam tiga keadaan yaitu:
1. Sebelum ketaatan.
Hal ini berkaitan dengan meluruskan niat, ikhlas, sabar menahan diri dari virus-virus riya’ dan berbagai cacat, membulatkan tekad untuk ikhlas dan setia, ini termasuk kesabaran yang berat di sisi orang yang mengetahui hakikat niat dan ikhlas, atau berbagai penyakit riya’ dan tipu daya jiwa.
2. Ketika melakukan ketaatan.
Agar tidak melalaikan Allah pada saat melakukannya dan tidak malas dari mewujudkan berbagai adab dan sunnahnya agar ia senantiasa bisa memenuhi persyaratan adab hingga akhir pelaksanaannya.
3. Setelah selesai melakukan ketaatan.
Karena dia memerlukan kesabaran untuk tidak menyiarkan memamerkannya karena riya’. Ia juga harus bersabar untuk tidak memandang amal perbuatannya dengan pandangan ujub (perasaan bangga dengan kebaikan), dan bersabar dari setiap hal yang dapat membatalkan amalnya atau menghilangkan pahalanya.


[1] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin al-Ghazali, Terj. Aunur Rafiq, (Jakara: Rabbani Press, 2006), cet. XXVIII, hlm. 370.
[2] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2007, hlm. 135-137.




































No comments:

Post a Comment