MAKNA FIQIH DARI MASA KE MASA

ring
Perlu dipahami ada perbedaan antara fiqih dengan syara’. Syara’ mempunyai bidang kajian yang lebh luas dari fiqih, dan ilmu fiqih hanya mempelajari hukum-hukum sedangkan syara’ adalah induk dari fiqih. Ilmu fiqih mengalami perubahan arti dari masa ke masa, sebagai berikut:
1. Arti Fiqih Pada Masa Rosul, Sahabat dan Tabi’in (abad pertama Hijriyah)
Dalam abad pertama Hijriyah istilah fiqih identik dengan Ilmu (pengetahuan) yaitu memahamkan sesuatu secara mendalam, pengetahuan yang tidak mudah diketahui umum, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan mempergunakan kecerdasan dan kebijaksanaan yang dalam. Maka dengan demikian segala ilmu yang timbul pada masa Rosullulah saw, sahabat dan tabi’in dinamakan fiqih.[1]
2. Arti Fiqih Pada Abad Kedua Hijriyah
Sesudah abad pertama berganti dengan abad yang kedua, yaitu masa lahirnya pemuka-pemuka mujtahid yang membangun mazhab, lalu masing-masing mempunyai mazhab tertentu dan tersebar dalam masyarakat kaum muslimin, pada masa inilah barulah kata fiqih diartikan secara sempit, ditentukan untuk suatu ilmu pengetahuan saja dari berbagai macam pengetahuan agama.
Para pemuka mazhab mengkhususkan lafaz fiqih untuk nama dari hukum-hukum yang dipetik dari kitabullah dan sunnatur Rosul, dengan mempergunakan ijtihad atau istinbath yang sempurna terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan amalan (perbuatan) para mukallaf.[2]
3. Arti Fiqih Pada Masa Ulama Ushul dan Ulama Fiqih (Sesudah Abad Kedua)
Pada pertengahan abad kedua Hijriyah, mulai bermunculan para mujtahid yang mengali hukum-hukum Islam dengan sungguh-sungguh dan sejak itu mulai timbul para ahli dibidang masing-masing, di antaranya ialah para ahli Ushul Fiqih dan Ahli Fiqih, bersama dengan itu maka lebih lanjut arti dari istilah fiqih-pun banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh pendapat-pendapat, baik pendapat para Ahli Ushul Fiqih maupun para Ahli Fiqih.
a. Ulama-ulama Hanafiyah menetapkan bahwa Fiqih ialah:
Ilmu yang menerangkan seluruh hak dan kwajiban yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf. Imam ‘Alaudin al-Kasaniy al-Hanafiy mengatakan:
Tak ada sesuatu ilmupun sesudah mema’rifati Allah dan sifat-sifat-Nya, yang lebih mulya daripada Ilmu Fiqih, yaitu ilmu yang diberinama dengan Ilmu Halal, Ilmu Haram, syari’at dan Ilmu Hukum. Untuk itulah para Rasul dibangkit dan kitab-kitab Allah diturunkan, hukum-hukum Allah itu tidak dapat diketahui dengan akal semata-mata tetapi memperlukan pertolongan naql/wahyu.”[3]
b. Ulama-ulama Syafi’iyah mengumukakan bahwa Ilmu Fiqih ialah:
Ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Imam Abu Hamid al-Ghazali mengemukakan bahawa pengertian fiqih menurut Istilah para ulama adalah:
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para mukallaf,.... seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang shahih, perikatan yang fasid dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qadha (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) Adaa (pelaksanaanya secara tunai/pada waktunya) dan hal-hal yang seperti itu.”[4]
c. Dalam kitab Muqaddamah al-Mubtada wa al-Khabar, Ibnu Khaldun mengatakan:
Fiqih itu ialah: Pengetahuan tentang hukum-hukum Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik yang wajib, haram, sunnah, makruh ataupun mubah. Yaitu yang diambil dari kitabullah dan sunnatur Rosul dan dari dalil-dalil yang telah direstui oleh syara’ untuk mengetahuinya. Apabila hukum-hukum itu dikeluarkan/diistinbathkan dari dalil-dalil itu dengan jalan ijtihad, maka disebut “fiqih”.[5]
d. Imam Jalaluddin al-Mahalliy mengemukakan bahwa Fiqih itu, ialah:
Hukum-hukum syara’ yang praktis yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci”.[6]
e. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkam memberikan batasan terhadap Ilmu Fiqih dengan ungkapan:
Yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang dipetik dari al-Qur’an dan kalam rosul yang diutus membawa syariat yang hanya daripadanyalah hukum-hukum itu diambil.
Selanjunya beliaupun mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan hukum-hukum syara’ yang dipetik dari al-Qur’an itu terasuk didalamnya seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an, demikian pula dengan kalam Rosul Saw. Termasuk di dalamnaya seluruh ilmu yang bersangkut-paut dengan sunnah Rasul Saw. Lebih jauh dari itu beliaupun memasukan dalam cakupan pembahasan Ilmu Fiqih hal-hal yang telah di Ijma’-kan oleh para ulama dan hal-hal yang masih diperselisihkan oleh mereka.[7]
f. Abdus Salam al-Qobbaniy mengatakan bahwa Fiqih itu ialah:
Ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Ia mencakup hukum-hukum yang dipaham oleh mujtahid dengan melalui metode ijtihad dan tercakup pula hukum-hukum yang tidak memerlukan ijtihad, seperti hukum-hukum yang dinashkan langsung dalam al-Kitab dan as-Sunnah dan demikian pula masalah-masalah ijma’.[8]
g. Arti Menurut Fuqaha (Ahli Fiqih)
Pengertian Fiqih menurut para fuqaha berbeda dengan pengertian Fiqih yang dikemukakan oleh para Ahli Ushul Fiqih, mereka mengartikan Fiqih dengan,
Mengetahui (menghapal) hukum-hukum Furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya ataupun tidak”.
Jelasnya, Fiqih menurut Fuqaha adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para mukallaf yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[9]


[1] Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqih–Ushul Fiqih I, CV Bina Usaha, Yogyakarta, hlm 29
[2] Ibid. hlm 31
[3] Ibid. hlm 34
[4] Ibid. hlm 36
[5] Ibid.hlm 37
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm 38
[8] Ibid. hlm 39
[9] Ibid. hlm 41



































No comments:

Post a Comment