HIKMAH PEMBERIAN MAHAR NIKAH

fikih pernikahan revisi_001
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada isterinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Adanya pemberian mahar itu, suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.[1] Wujudnya maskawin, bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti, bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon isterinya, sehingga dengan suka rela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya, sebagai tanda suci hati dan sebagai pendahuluan, bahwa si suami akan terus-menerus memberi nafkah kepada isterinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap isterinya.[2]
Hikmah pewajiban mahar bagi isteri atas suami ialah menunjukkan dan mengangkat tinggi kepentingan hubungan ini. Pewajiban mahar atas suami secara khusus, dimana suami yang lebih mampu untuk bekerja dan memberi nafkah, mengandung isyarat kepada apa yang diwajibkan oleh perkawinan atas suami, berupa berbagai tuntutan kebutuhan dan nafkah. Mahar mengandung suatu penghormatan kepada wanita yang masuk dalam ketaatan kepadanya dan dalam perlindungannya.[3]
Hikmah disyaratkan mahar antara lain:
a. Menunjukkan kemuliaan kaum wanita.
Hal ini menandakan bahwa merekalah yang dicari, bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-laki itulah yang mencari berusaha dan mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan wanita.
b. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, sehingga pemberian harta itu sebagai nihlah dari padanya, yakni sebagai pemberian, hadiah, dan hibah, bukan sebagai pembayaran harga sang wanita.
c. Sebagai perlambang kesungguhan.
Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan kaum laki-laki dengan begitu saja, dengan menyatakan kepada si wanita: “saya nikahi engkau,” sehingga menjadikannya terikat.
d. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluargan di tangan laki-laki (suami), karena kamampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan) lebih besar dibandingkan kaum wanita.

[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 87.
[2] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983, hlm. 82.
[3] Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam, Semarang: Dina Utama Semarang, 1995, hlm. 35.











No comments:

Post a Comment