NAFKAH ANAK ANGKAT

fikih pernikahan revisi_001
Pada dasarnya, tabanni dan istilhaq bertujuan untuk memberikan pelayanan, perawatan, pemeliharaan dan pendidikan dan kesejahteraan terhadap anak. Tabanni -yang dianjurkan oleh Islam- adalah tabanni dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada pengangkatan anak oleh sebuah keluarga yang tidak mempunyai keturunan, tetapi kepentingan anak juga harus diperhatikan.
Begitu pula dengan istilhaq yang lebih tepatnya untuk memberikan maslahat kepada seorang anak, apa lagi anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Pemberian nafkah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan maslahat kepada setiap anak. Artinya, pemberian nafkah dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya hingga ia dewasa dan mampu mandiri.
Pemberian nafkah terhadap anak angkat, sebenarnya bukan merupakan kewajiban ayah angkatnya. Namun, tabanni yang dilakukan oleh sebuah keluarga menyebabkan adanya peralihan tanggung jawab dalam memberikan nafkah dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, terlebih orang tua kandung tidak mampu secara ekonomi. Adanya hubungan timbal balik ini karena anak angkat nantinya juga akan berjasa dalam keluarga, yaitu sebagai pelengkap keluarga yang tidak mempunyai keturunan.
Akibat yuridis dari tabanni ini adalah terciptanya hubungan kasih sayang dan beralihnya tanggung jawab dalam memberikan nafkah. Di samping itu, tabanni dalam arti mendidik, dan memelihara anak yang terabaikan hak-haknya karena kefakiran dan kemiskinan juga bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam pengukuhan anak, pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang menjadi konsekuensi yang ditimbulkan.
Adanya hubungan ayah dan anak melahirkan adanya hak dan kewajiban di antara keduanya, begitu juga sebaliknya. Orang tua (secara syar’i) berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelayanan dan nafkah kepada anaknya (mustalhaq lah). Ini juga sebagai usaha agar orang tuanya dapat menghindarkan anak tersebut dari kefakiran dan kemiskinan. Namun, pengakuan secara tidak langsung yang masih mem-butuhkan pembenaran dari pihak ketiga, tidak selamanya melahirkan kewajiban ayah terhadap anak.
Apabila pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh pihak ketiga, maka kewajiban untuk memberikan nafkah berada di bawah tanggungan orang yang mengakuinya, misal orang yang mengaku saudara. Hubungan hanya terbatas hubungan kekeluargaan saja, seperti memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya tanpa adanya hubungan nasab dengan pihak ketiga.


[1] dikutip dari buku FIQIH PERNIKAHAN buah karya Amin Khakam el-Chudrie.






No comments:

Post a Comment