SEJARAH PELEMBAGAAN TAKLIK TALAK DI INDONESIA

fikih pernikahan revisi_001
Pelembagaan taklik talak di Indonesia dimulai sejak pemerintahan Raja Mataram, yakni sejak adanya perintah dari Sultan Agung Hanyakrakusuma (1554 Jawa/1630 Masehi) sebagai upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, disamping jaminan bagi isteri, taklik talak itu juga dalam rangka tugas negara. Taklik pada waktu itu terkenal dengan sebutan Taklik Janji Dalem atau Taklik Janjiningratu. Artinya, taklik talak dalam kaitan tugas negara, yang aslinya berbunyi:
Mas penganten, pekenira tompo Talik Janji Dalem, samongso pekanira nambung (ninggal) rabi pekanira..... lawase pitung sasi lakon daratan, hutawa nyabrang segoro rong tahun, saliyani nglekoni hayahan dalem, tan terimane rabi pekanira ngantidarbe hatur rapak (sowan) hing pengadilan hukum, sawuse terang papriksane runtuh talak pekanira sawija’.
Yang artinya:
Wahai penganten, dikau memperoleh Taklik Janji Dalem, sewaktu-waktu dikau menambang (meninggalkan) isterimu bernama......... selama tujuh bulan perjalanan darat, atau menyeberang lautan dua tahun, kecuali dalam menjalankan tugas negara, dan isterimu tidak rela sehingga mengajukan rapak (menghadap) ke pengadilan hukum, setelah jelas dalam pemeriksaanya, maka jatuhlah talakmu satu.
Taklik tersebut tidak dibaca oleh penganten pria, tetapi diucapakan oleh Penghulu (Naib) dan cukup dijawab “hinggih sendika” (iya, saya terima).[1]
Menurut Zaini Ahmad Noeh, sebagaimana yang dikutip oleh Khoiruddin Nasution, menyatakan bahwa pelembagaan taklik talak yang terjadi pada masa itu merupakan pengembangan pemikiran dan pemahan ulama terhadap hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan masalah talak (perceraian) atau perpisahan antar suami dan isteri.[2] Setelah Belanda datang ke Indonesia didapati kenyataan bahwa hal pemberlakuan taklik talak telah hidup dalam masyarakat. Adapun yang pertama kali menemukan taklik talak dalam bahasa Belanda yang disebut dengan istilah voorwaardelijke verstoting di Indonesia adalah Snouck Hurgronje ketika membahas masalah hukum adat.
Dalam rangka memuluskan misinya ke Indonesia, yakni missi dagang dan missi penjajahan, Belanda mengambil sikap netral terhadap hukum Islam yang telah berkembang dalam masyarakat. Kebijakan tersebut diambil Belanda, menurut Belanda, sebagaimana yang dikutip oleh Gunaryo, didasarkan pada sikap kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Sebagai penjajah, Belanda me-miliki keinginan yang besar untuk memperkuat kekuasaannya, sebaliknya setiap usaha untuk melakukan konsolidasi kekuatan akan berpotensi mendapatkan perlawanan dari umat Islam.
Dalam pandangan penjajah, sentimen keagamaan bisa jadi potensi yang cukup dahsyat untuk mengusir penjajah, karena dalam keyakinan mereka mengusir penjajah kafir dari tanah air adalah bagian dari keimanan yang termasuk kategori jihad. Potensi itulah yang menjadi kekhawatiran Belanda untuk mencampuri urusan-urusan keagamaan penduduk pribumi.[3] Untuk mendukung missinya tersebut, keluarlah kebijakan Gubernur Jenderal yang intinya melarang mencampuri persoalan agama penduduk pribumi, kebijakan ini ditujukan kepada para Bupati di Jawa dan Madura. Kebijakan tersebut tertuang dalam penetapan gubernur Jenderal (Bt. 19 Mei 1820 No. 1). Kebijakan kedua tertuang dalam pasal 119 Undang-undang Hindia-Belanda (Reegering Reglement 1854) yang ditujukan kepada semua orang atau setiap individu untuk memberikan kebebasan melaksanakan agamanya.[4]
Kemudian sebagai bentuk pengakuan Kolonial Belanda terhadap hukum Islam di Indonesia pada tahun 1882 berdasarkan staatblad 1882 No. 152 dibentuklah Peradilan Agama yang diberi nama Priesterraden atau disebut Raad Agama atau Rapat Agama atau Pengadilan Agama yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam staadblad 1882 No. 153. Untuk pemberlakuan taklik talak, maka keluarlah Ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb 1895 jis 1929 No. 348 dan Stb 1931 No. 348, Stb 1933 No. 98 yang berlaku untuk Solo dan Yogyakarta.[5] Sejak keluarnya ordonansi tersebut, maka timbullah gagasan para ulama dengan per-setujuan Bupati untuk melembagakan taklik talak sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti kewajiban terhadap isteri, dengan beberapa tambahan rumusan sighat, termasuk kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan jasmani. Yang pada akhirnya, taklik talak tersebut tidak lagi diucapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, tetapi dibaca sendiri oleh suami.
Melihat bahwa bentuk taklik talak di Jawa bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan suami-isteri, maka banyak penguasa luar daerah Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing. Setelah berlakunya Ordonansi Pencatatan Perkawinan untuk luar Jawa dan Madura, stb. 1932 No. 482, maka pemberlakuan taklik talak lebih merata di daerah luar Jawa dan Madura. Pada tahun 1925 taklik talak sudah berlaku di Minangkabau, sementara di Muara Tembusi berlaku pada tahun 1910, begitu halnya di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan serta Sulawesi Selatan.
Dalam perkembangan selanjutnya rumusan taklik talak semakin disempurnakan, terutama dalam hal melindungi kepentingan isteri. Agar taklik talak tersebut tidak dapat dirujuk oleh suami setelah terjadinya perceraian di Pengadilan Agama, maka rumusanya ditambah ketentuan tentang iwadl (uang pengganti). Dengan adanya iwadl tersebut maka jatuhnya talak karena taklik menjadi talak khulu’ atau talak ba’in. Dimana mantan suami tidak dapat merujuk mantan isteri kecuali dengan akad nikah yang baru. Dengan pemberlakuan iwadl tersebut upaya isteri untuk keluar dari kesewenangan suami semakin terjamin. Adapun penambahan tentang ketentuan iwadl dipelopori oleh ulama di daerah Banten yang pada akhirnya menjadi perbincangan di Sumatera Selatan pada tahun 1930-an.
Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia, rumusan sighat taklik talak mengalami perubahan. Dimana pada tahun 1931 ketika taklik talak diperlakukan di sekitar Jakarta dan Tanggerang, rumusan taklik tersebut mengalami perubahan dan penambahan.[6]
Setelah Indonesia merdeka, rumusan sighat taklik talak ditentukan sendiri oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan rumusan sighat taklik tidak disalah-gunakan secara bebas yang menyebabkan kerugian bagi pihak suami atau isteri, atau bahkan bertentangan dengan hukum syara’. Sejak berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik talak diberlakukan seragam diseluruh Indonesia. Dan sejak diambail alih oleh Departemen Agama, sighat taklik juga mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya mengenai unsur-unsur pokoknya tetapi juga mengenai kualitas syarat taklik yang bersangkutan dan besarnya uang iwadl.[7]

[1] Zaini Ahmad Noeh, Op. Cit., hlm. 65
[2] Khoiruddin Nasutioan, Loc. Cit.
[3] Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dam Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 65.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 51.
[6] Adapun rumusan lengkapnya sebagai berikut: 1) Tiap-tiap saya tinggalkan isteri saya dengan semata-mata tinggal jalan darat tiga bulan atau jalan laut dalam masa enam bulan lamanya, 2) Atawa saya tidak kasih nafkah yang wajib pada saya dalam satu bulan lamanya. 3) Atawa saya pukul dia dengan pukulan yang menyakkiti padanya, 4) maka jika isteri saya tidak suka akan salah satu yang tersebut diatas itu, ia boleh sendiri atau wakilnya mengadukan halnya kepada Raad Agama, serta ia minta bercerai dan manakala isteri saya yang tersebut itu membayar pada saya uang banyaknya f 0.10 (sepuluh cent) serta sabit dakwaanya, tertalaklah isteri saya yang tersebut satu talak dan dari uang iwadl khula’, yang tersebut saya wakilkan kepada Raad Agama buat kasih sedekah kepada fakir miskin. Dari rumusan tersebut terlihat adanya penambahan dari aspek unsur-unsurnya sebanyak tiga unsur, yakni: 1) Tidak memberi nafkah, 2) Mamukul isteri yang bersifat menyakiti, 3) Membayar uang iwadl. Adapun dari unsur intersitas juga mengalami perubahan, yakni dari 7 bulan menjadi 3 bulan jalan dan dari 2 tahun menjadi 6 bulan jalan laut.
[7] Adapun unsur-unsur yang mengalami perubahan adalah seperti rumusan ayat 3 sighat taklik talak. Pada tahun 1950 disebutkan ‘’atau saya menyakiti isteri saya dengan memukuli’’ dimana pengertian memukul tersebut hanya terbatas pada memukul saja. Pada tahun 1956 pengertian memukul diperluas sampai kepada segala perbuatan suami yang dapat dikategorikan menyakiti badan jasmani, seperti menendang, mendorong sampai jatuh, menjambak rambut, membenturkan kepala ke tembok dan sebagainya. Dari sudut rentang waktu juga mengalami perubahan, seperti rumusan ayat (1) sighat taklik talak tentang lamanya pergi meninggalkan isteri, pada tahun 1950, 1956 ditetapkan menjadi 2 tahun. Sedang ayat (4) sighat taklik talak tentang lamanya membiarkan atau tidak memperdulikan isteri, pada tahun 1950 ditetapkan selama 3 bulan, pada tahun 1956 menjadi 6 bulan. Perubahan tersebut oleh Abdul Mannan dimaksudkan untuk mempersulit terpenuhinya syarat sighat taklik talak, sekaligus memperkecil terjadinya perceraian. Lihat Abdul Mannan, Op. Cit., hlm. 250.



















No comments:

Post a Comment