Manusia
merupakan makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai
potensi, baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual. Manusia yang
dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut itulah yang selanjutnya disebut insân
kamîl. Sebutan insân kamîl agaknya dimunculkan pertama kali oleh
Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud). la mengikuti paham al-Hallaj, yang menyatakan
bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh
Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu
Arabi dengan sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah, Akal Pertama,
Hakikat Insaniyah dan Insân Kamîl. Dengan demikian, Ibnu Arabi
telah mengacukan sebutan insân kamîl bukan saja kepada manusia tertentu
dari turunan Adam, tapi juga kepada Nur Muhammad (bersifat immateri, ciptaan
pertama dari Tuhan. Insân kamîl dengan pengertian yang mengacu kepada
ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam
bukunya al-Insân al-Kamîl fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awal, dan para
pengikut paham kesatuan wujud lainnya.
Istilah
insân kamîl muncul dalam literatur Islam pada abad ke-7H/13 M dan dipergunakan
pertama sekali oleh Ibn Arabi. Kemudian istilah itu segera menyebar melalui
pengikut-pengikut Ibn Arab. Insân kamîl yang mengacu kepada makhluk pertama, merupakan
hakikat yang menghimpun segala hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam
empiris. la juga merupakan wadah tajalli, pancaran, atau manifestasi
segenap nama dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak (Tuhan).
Sebagai
makhluk pertama, insân kamîl merupakan Akal Pertama atau Wujud
Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber segala
ilmu. la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali.
Penyebutan para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan insân
kamîl, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh
kehadiran insân kamîl (makhluk pertama itu) dalam jiwa mereka, dan menerima
limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin menerima kehadiran atau pancaran insân
kamîl itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci.
Manusia-manusia
turunan Adam, yang termasuk kategori insân kamîl, merupakan wadah yang
paling sempurna dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli (penampakan
secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain, merekalah
yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan
segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain yang
bukan insân kamîl, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda
empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, namun
tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan
dengan segala nama dan sifat-Nya.
Insya
Allah mengandung arti jika Allah menghendaki. Kata ini
dianjurkan untuk diucapkan oleh seseorang apabila ia menghadapi urusan atau mengikat
suatu perjanjian dengan orang lain yang akan dipenuhi atau ditepati besok atau
pada jangka waktu kemudian yang telah ditetapkan. Mengucapkan kata tersebut pada hakikatnya merupakan
pendidikan mental bagi seorang muslim untuk selalu berada dalam kesadaran
ketuhanan. Bahwa apa yang telah direncanakan oleh manusia dan apa yang akan dia
lakukan besok, tidaklah dapat dipastikan akan berlaku sepenuhnya. Mungkin akan ada
halangan dan rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya yang membuat urusan
dan perjanjian itu menjadi gagal.
Kedalaman
dimensi esoterik di kalangan kaum sufi, melahirkan konsep insân kamîl (the
perfect man). Yang dimaksud dengan insân kamîl ialah suatu tema yang
berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang
Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan
yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat
sempurna dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya.
Berbicara
tentang insân kamîl tidak bisa melepaskan diri dari Ibn Arabi, dan berbicara
tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas dari konsep wahdatul wujud-nya.
Filsafat ibn Arabi tentang manusia dikenal dengan konsep al-Insân al-Kamîl
(manusia sempurna). Ia disimbolisasikan oleh Adam, yang diciptakan oleh Allah
dalam citra-Nya sebagai khalifah di muka bumi. Ciri utama antropologinya
adalah antroposentrisme yang dibangun di atas ontologi. Dia menggunakan tema
dan motif yang sudah lazim dalam sufisme awal. Tentu saja, antroposentrisme itu
sendiri sama sekali bukan sesuatu yang baru, baik dalam tradisi Islam maupun dalam
tradisi Yudeo-Kristen.
Dalam
teorinya ini, insân kamîl adalah duplikasi Tuhan (nuskhah al-Haqq),
yaitu Nur Muhammad yang merupakan "tempat penjelmaan" (tajalli)
asma' dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai
khalifah-Nya di muka bumi. Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua
dimensi hubungan; yang pertama adalah dimensi kealaman sebagai asas pertama
bagi penciptaan alam, dan yang kedua dimensi kemanusiaan yaitu sebagai hakikat
manusia.
Dari
dimensi kealaman maka hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang
diciptakan oleh Allah Swt lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun
ini tidak mengandung makna pencapaian-tujuan dari tujuan diciptakannya
kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab, kenyataan-kenyataan tersebut masih
merupakan tempat penampakan (tajalli) diri yang masih kabur. la belum
cukup dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah Swt yang di-tajalli-kan atasnya.
Melalui dimensi kemanusiaan maka hakikat Muhammad merupakan insân kamîl
yang dalam dirinya terkandung himpunan realitas. Pada tahap inilah penampakan Asma
Dzat Tuhan menjadi sempurna.
Manusia
Sempurna adalah suatu miniatur Realitas (Tuhan
dan Alam). Dalam tubuhnya terdapat kesamaan-kesamaan yang ditarik di antara mikrokosmos
dan makrokosmos. Essensi dari Manusia Sempurna adalah suatu ragam dari Ruh
Universal. Tubuhnya merupakan ragam dari tubuh universal. Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam.
Dengan cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka
Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan kaum
sufi, khususnya Ibn Arabi, ialah hadits Qudsi yang artinya: “Aku adalah
perbendaharaan yang tersembunyi. Aku senang untuk diketahui maka Aku menciptakan
makhluk, yang dengannya Aku dikenal mereka.”
Dengan
demikian dapat dimengerti bahwa dengan cinta abadi dari Yang Esa untuk
memandang Kecantikan dan Kesempurnaan Diri-Nya dimanifestasikan dalam
bentuk-bentuk, dan di samping agar diketahui oleh dirinya sendiri di dalam dan
melalui Dirinya Sendiri, dijumpai pula realisasi paling sempurna dalam diri Manusia Sempurna, yang hanya dia saja
yang mengenal Dia, dan yang mampu memanifestasikan Atribut-atribut-Nya
secara sempurna. Ia ketahui Dia, “dengan cara yang tak bisa diragukan lagi,” dan
ia lihat Dia dengan “mata” paling dalam dari jiwanya. Ia bagi Tuhan seperti biji
mata bagi mata (fisik).
No comments:
Post a Comment