KONSEP ULAMA DALAM AL-QUR’AN


Term/kata ulama disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua, pertama terdapat di surat asy-Syu’ara ayat 197 dan kedua terdapat di surat al-Fatir ayat 28.[1] Akan tetapi untuk mendapatkan pengertian ulama secara komprehenshif penulis mendasarkan pada ayat-ayat yang secara langsung menyinggung kata ulama maupun tidak, seperti hanya QS. az-Zumar ayat 9, surat Ali Imron ayat 164, surat al-Baqarah 151 dan lain sebagainya. 
Dalam merumuskan kaitannya dengan konsep ulama penulis membagi dengan empat kategori, yakni karakteristik, kedudukan, tugas dan keutamaan ulama. Ketika M. Quraish Shihab memaparkan karakter ulama, dia mendasarkan pada dua ayat, yaitu QS. asy-Syuara ayat 197 dan al-Fatir ayat 28.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ulama yang terdapat dalam surat asy-Syu’ara ayat 97 terambil dari kata (عَلِمَ) ālima (orang yang mengetahui). Pengetahuan disini menurutya adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan tidak terbatas hanya kepada orang-orang Muslim, siapapun yang memiliki pengetahuan tersebut, dia-lah yang disebut ulama.[2] Hal ini disebabkan karena M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat memperhatikan konteks ayat yang turun pada waktu itu yaitu mereka orang-orang Bani Israil mengetahui tentang sifat al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan kebenaran sifat-sifat yang disandangnya karena sesuai dengan apa yang mereka ketahui melalui kitab suci mereka, bahkan mengetahui pula kebenaran kandungannya.
Selanjutnya M. Quraish Shihab juga memperhatikan gaya bahasa atau kosa kata dan munāsabah ayat yaitu hubungan dengan ayat sebelumnya ataupun sesudahnya.[3] Ini terlihat ketika dia menafsirkan kata ulama, yaitu orang yang mengetahui tentang al-Qur’an, hal ini karena ayat sebelumnya menjelaskan berkaitan al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu seperti hanya Injil, Zabur, Taurat. Akan tetapi, orang-orang tidak mau mempelajarnya dan juga menolak kebenaran kitab al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Padahal ulama Bani Israil mengetahui akan perkara tersebut.
Lain pula ketika M. Quraish Shihab menafsirkan ayat kedua surat al-Fatir ayat 28. Dalam pernyataannya yang dimaksud ulama disini adalah seseorang yang mengetahui, baik berkaitan dengan ilmu agama ataupun fenomena alam, serta dengan pengetahuannya mengantarkan dirinya Khasyah (memiliki rasa takut) kepada Allah. Khasyah dimaksudkan disini menurut pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghīb al-Ashfăhănī,[4] adalah rasa takut ya ng disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek.[5] Penyataan di dalam al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanya ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat kedua tentu berbeda, yaitu jika ayat pertama merujuk kata ulama hanya orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, maka ayat yang kedua cakupannya lebih luas. M. Quraish Shihab menafsirkan surat al-Fatir ayat 28, yaitu dengan merujuk pada akar kata ulama adalah bentuk jamak dari kata (عَالِمٌ) ālim yang berarti (mengetahui secara jelas). Karena itu, semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ain, lam, mīm selalu menunjuk kepada kejelasan, seperti (عَلَمَ) ‘alam/bendera, (عَالَمٌ) ălam/alam raya makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan, (عَلاَّمَة) alămah/alamat.[6] 
M. Quraish Shihab juga menambahkan munassabah ayat sebagai penunjang untuk menafasirkannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (surat al-Fatir [35] ayat 27) bahwa al-Qur’an menyinggung tentang fenomena alam, yaitu meliputi proses penurunan hujan, dan dari hujan tersebut tumbuh-tumbuhan akan menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya, serta keaneka ragaman tentang penggambaran gunung. Oleh karenanya, M. Quraish Shihab mengisyaratan bahwa pengetahuan tentang fenomena alam begitu penting dan bila diantara kita memiliki pengetahuan berkaitan dengan fenomena alam dalam dan dengan pengetahuannya mengantarkan dirinya takut kepada Allah maka orang tersebut bisa dikatakan ulama.
Pandangan berbeda datang dari ahli tafsir Sayyid Muhammad Husain at-abaabaī dalam tafsirnya al-Mizān. Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat Allah, nama-namanya, sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna, yang dapat menenangkan hati mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya akan nampak dalam semua amalnya, lalu semua perbuatan dan perkataannya akan menjadi benar. Yang dimaksud dengan khasyah adalah benar-benar takut dan kekhusyukan batinnya dan kerendahan ḍzohirnya akan selalu menyertainya. 
abaabaī lebih lanjut juga menjalaskan dalam tafsirnya bahwa kata: Innamā yakhsyallaha min ‘ibādihil ulamā, adalah ‘adat isti’naf. Kata innamā menjelaskan bahwa ibarat ayat ini memberikan bekas dan mewariskan iman kepada Allah secara hakikat, dan takut yang sebenarnya hanya terdapat pada ulama bukan orang-orang bodoh. Sungguh telah lewat bahwa peringatan hanya bisa dilalui oleh mereka (ulama) sebagaimana firman Allah:
إِنَّماَ تُنْذِرُ الَّذِيْنَ يَخْشَونَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَ أَقامُوا الصَّلاَةَ
Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya, (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sholat. (QS. al-Fatir, ayat 18).[7]
Maka ayat ini seperti menjelaskan terhadap makna ayat Innamā yakhsyallaha yang menjelskan bahwa takut yang secara hakikat hanya bisa ditemukan pada diri ulama.
Yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat Allah, nama-namanya, sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna yang dapat menenangkan hati mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya akan nampak dalam semua amalnya  lalu  semua  perbuatan  dan perkataannya  akan  menjadi  benar.  Yang dimaksud dengan khasyah adalah benar-benar takut dan kekhusyukan batinnya dan kerendahan dzohirnya akan selalu menyertainya.[8]
Pendapat yang sama diungkapkan oleh ahir Ibn ‘syūr dalam Tafsir At-Tahrīr wa At-Tanwīr, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu, sebesar itu juga kadar kekuatan khasyah/takut.
Lebih lanjut Ibnu ‘syūr menjelaskan terkait kata innamā merupakan ‘adat qosor iḍhofi yang bertujuan untuk pengkhususan makna. Maksudnya adalah orang-orang bodoh tidak akan takut kepada Allah, karena mereka adalah ahlu syirik, terlebih orang-orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu termasuk orang-orang jahiliyyah (tidak memiliki pengetahuan). Orang-orang mukmin, pada saat itu adalah para ulama, dan sebaliknya orang-orang musyrik yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah bukan ulama. Kemudian ulama dalam tingkat ketakutannya sangat berbeda-berbeda.
Didahulukan kata yahsya dari fa’il-nya karena sesungguhnya bertujuan untuk pembatasan. Hal tersebut ditunjukan kepada ulama, yakni orang yang takut kepada Allah maka mengakhirkan fa’il hukumnya wajib daripada mengakhirkan fi’il-nya, dan perlu diketahui bahwa ahir Ibn ‘syūr dalam menafsirkan surat al-Fatir ayat 28 lebih menitik beratkan pada gaya bahasa.[9]
Berdasarkan penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, pengertian ulama dalam al-Qur’an adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang jelas tentang ilmu agama, kitab suci dan ayat-ayat Allah lainnya yang ada di muka bumi, yang dengan pengetahuannya itu menghantarkan orang tersebut memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah. Inilah konsep ulama menurut penulis dengan mengacu penafsiran M, Quraish Shihab atas surat asy-Syu’ara ayat 197 dan kedua terdapat di surat al-Fatir ayat 28. 
Di sini juga dapat diketahui bahwa hal yang mempengaruhi penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat tersebut adalah metode/pendekatan yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, sebagaimana telah dijelaskan bahwa M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ayat tersebut menggunakan beberapa pendekatan,  antara lain: kosa kata atau gaya bahasa, munāsabah ayat, konteks sosial historis, baik pada waktu turunnya ayat atau kondisi dari mufassir sendiri.
Mengenai kedudukan ulama, M. Quraish Shihab mendasari pada QS. Al-Fatir [35]: 32 yang menjelaskan tentang pewarisan al-Kitab kepada hamba-hamba yang telah dipilih oleh Tuhan yakni Nabi Muhammad. Dalam konteks ini memang M. Quraish Shihab tidak secara langsung menyinggung ayat terkait ulama, melainkan kenabian. Hal ini menunjukan bahwa ulama adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasul:
إِنَّ الْعَلَماَءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.”[10]
Ayat yang dikemukakan di atas akan lebih jelas hubungannya dengan apa yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama sekaligus fungsi yang harus mereka emban bila dihubungkan juga dengan surat al-Baqarah [2]: 213, yang berkesimpulan bahwa Tuhan mengutus nabi-nabi dan memberikan kepada mereka kitab-kitab suci agar masing-masing, melalui kitab suci, memberikan keputusan atau pemecahan terhadap apa-apa yang diperselisihkan atau dipersoalkan dalam masyarakat.[11] Menurut hemat penulis bahwa kedudukan ulama yang dimaksud surat al-Fatir ayat 32 yaitu sebagai pewaris Nabi.
Berkenan dengan tugas seorang ulama M. Quraish Shihab menitik beratkan pada ayat tentang kenabian lagi, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 129. Dalam tafsir al-Misbah, dia menjelaskan setidaknya ada tiga tugas seorang Nabi, yakni: Pertama, membacakan al-Qur’an, Kedua, mengajarkan al-Qur’an, dan Ketiga, yakni menyucikan diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka dalam tafsir al-Azhar, beliau menjelaskan bahwa ketika Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah supaya anak cucunya nanti dikemudian hari menjadi seorang Rasul dan Membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, yaitu perintah-perintah Ilahi untuk memupuk atau  menjelaskan  kepada  seseorang  tentang  keesaan  Tuhan. “Dan mengajarkan kepada mereka khitan dan hikmat.”
Kitab yang dimaksud ialah kumpulan daripada wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah, yang bernama al-Qur’an dan hikmat adalah kebijaksanaan di dalam cara menjalanan perintah baik di dalam perkataan, atau perbuatan atau sikap hidup Nabi itu sendiri, yang akan dijadikan contoh dan teladan bagi umatnya. Wayuzakkīhim, untuk membersihkan diri mereka baik jasmani maupun rohani.[12]
Lebih lanjut Ahmad Musthofa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya juga memaparkan bahwa yang dimaksud dengan (وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ وَ الْحِكْمَةَ) mengajarkan al-Qur’an kepada mereka, di samping rahasia-rahasia syariat dan tujuan-tujuannya dengan peragaan amal dihadapan umat Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai teladan bagi mereka, baik perkataan ataupun perbuatan.
Sedangkan kalimat (وَ يُزَكِّيْهِمْ) kemudian ia bersihkan diri dari kemusyrikan dan segala bentuk yang maksiat yang merusak jiwa dan mengotori akhlak, di samping meruntuhkan tatanan sosial, juga akan menuntun mereka di dalam membiasakan diri beramal baik, sehingga  tertanamlah naluri kebaikan yang mendapatkan ridha Allah.[13]
Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa M. Quraish Shihab dalam menafsirkan berkaitan dengan tugas ulama yang mendasarkan pada ayat kenabian, tidak jauh berbeda mufassir yang lainya, yaitu membacakan al-Qur’an, mengajarkan al-Kitab dan menyucikan diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Selanjutnya berkaitan dengan keutamaan ulama, M. Quraish Shihab menyinggunya dalam QS. al-Zumar [39]: 9, dia menjelaskan bahwa penekanan pada ayat tersebut yaitu tentang keutamaan seseorang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui. Pengetahuannya yang dimaksud ialah tentang ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik sosial ataupun agama. Kedua ilmu tersebut begitu penting karena pada hakikatnya semua ilmu adalah dari Allah.
Interpretasi yang dijelaskan di atas sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam tafsir al-Aisar, dia berkesimpulan bahwa dalam QS. Az-Zumar: 9 menjelaskan terkait keutamaan bagi orang yang berilmu atas orang yang bodoh. Dan seandainya orang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya, niscaya kedudukan mereka akan sama. Pernyataan Syakih Abu Bakar juga mengandung peringatan yang keras terutama bagi orang yang memilki ilmu yang enggan mengamalkannya.[14]
Berbeda juga dengan pandangan Ahmad Musthofa al-Maraghi, dia menafsirkan kata (يَعْلَمُون) mengetahui, maksudnya mengetahui balasan ketika seseorang melakukkan ketaatan pada Tuhan, dan mengetahui hukuman yang akan mereka terima apabila mereka bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan kata (لاَ يَعْلَمُونَ) tidak mengetahui, maksudnya yaitu orang-orang yang merusak amal perbuatan mereka secara membabi buta, sedang terhadap amal-amal mereka yang baik tidak mengarapkan kebaikan, dan terhadap amal-amal yang buruk mereka tidak takut kepada keburukan.[15]
Sedangkan ayat lain yang berkenaan dengan keutamaan ulama yaitu surat al-Mujadallah ayat 11. Dalam ayat tersebut, M. Quraish Shihab menjelaskan kalimat (الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ) orang yang diberi ilmu pengetahuan, adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Seseorang yang senantiasa melakukkan shalat, dzikir, beramal shaleh dan bertaqwa kepada Allah tanpa didasari dengan adanya ilmu, niscaya amal ibadah mereka kurang sempurna. Seperti hanya seseorang melakukkan shalat tanpa dilandasi dengan ilmu maka shalatnya rusak. Inilah yang menjadi titik yang begitu penting dari ayat dia atas dimana ilmu pengetahuan dan keimanan seseorang harus selaras tidak boleh berdiri sendiri.
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Wasith, dia menjelaskan bahwa Allah secara khusus mengangkat kedudukan para ulama hingga beberapa tingkatan yang tinggi, dalam bentuk kehormatan di dunia dan di akhirat. Ini membuktikan bahwa keutamaan orang yang memiliki ilmu atau ulama lebih tinggi dari pada yang lainnya.[16]
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep ulama menurut M. Quraish Shihab adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, al-Qur’an, ilmu fenomena alam  serta dengan pengetahuan tersebut menghantarkannya memiliki rasa khasyah (takut) pada Allah dan mempunyai kedudukan sebagai pewaris  Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi disisi-Nya.




[1] Muhammad Fuad Abdul Bāqī, Mu’jam Mufahras li Al-Fāi Al-Qur’an, Bandung: CV. Ponogoro, Tth., hal. 604
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al–Qur’an, Volume 9, Jakarta: Lentera Hati, Cetakan Keempat, 2011, hal. 341-342
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an, Tanggerang: Lentera Hati, Cetakan II, 2013, hal. 243-244
[4] Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 304
[5] Ar-Raghīb Al-Ashfăhănī, Mu’jam Mufradāt Al-fāżil Qur’an, Bairut: Dārul-Fikr, t.th, hal 106
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al–Qur’an, Volume 11, hal. 60-61
[7] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, Tanggerang: Lentera Hati, Cetakan I, 2010, hal. 436
[8] Sayyid Muhammad Husain At-abaaba’ī, Tafsir Al-Mizān, Juz 17, Lebanon: Beirut, Tth., hal. 43
[9] Muhammad ahir Ibn ‘syūr, Tafsir At-Tahrīr wa At-Tanwīr, Tunisia: Darus Sahnūn Linnasyriwa at-Tauzī’, Tth., hal. 304-305
[10] Muhammad bin 'Isa al-Tirmiżī, Sunan Tirmiżī, Juz 3, Lebanon: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah-Beirut, 2011, hal.  477-478.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cetakan I, 2007, hal. 586
[12] Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, Juz 1-3, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2010, hal 301-311
[13] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 13, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cetakan Kedua, 1992, hal. 397
[14] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar, Jilid 6, Terj. Fityan Amaliy dan Edi Suwanto, Jakarta: Darus Sunnah, Cetakan Ketiga, 2013, hal. 340
[15] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir  Al-Maraghi,  Juz  23,  Semarang:  PT.  Karya  Toha Putra, Cetakan Kedua, 1993, hal. 278
[16] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, Jilid 3, Terj. Muhtadi, dkk, Jakarta: Gema Ihsani, Cetakan Pertama, 2013, hal. 611

No comments:

Post a Comment