Terhadap upah badal
haji didalam kitab al-Umm Imam Syafi’I berpendapat, antara lain;
قَالَ الشَّافِعِي رحمه الله تعالى لِلرَّجُلِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ
الرَّجُلَ يَحُجُّ عَنْهُ إِذَا كَانَ لاَ يَقْدِرُ عَلَى الْمَرْكَبِ لِضَعْفِهِ
وَ كَانَ ذَل مَقْدِرَةٍ بِمَالِهِ وَ لِوَارِثِهِ بَعْدَهُ وَ الإِجَارَةُ عَلَى
الْحَجِّ جَائِزَةٌ جَوَازُهاَ عَلَى الأَعْمَالِ سِوَاهُ بَلِ الإِجَارَةُ إِنْ
شَاءَ اللهُ تعالى عَلَى الْبِرِّ خَيْرٌ مِنهَا عَلَى ماَ لاَ بِرَّ فِيْهِ وَ
يَأْخُذُ مِنَ الإِجَارَةِ ماَ أَعْطَى وَ إِنْ كَثُرَ كَماَ يَأْخُذُهاَ عَلَى
غَيْرِهِ لاَ فَرْقَ بَيْنَ ذَاِكَ
Imam Syafi’i
berkata: “Seseorang boleh mengupah orang lain untuk menghajikan dirinya apabila
ia lemah dan tidak mampu naik kendaraan, namun ia mempunyai harta yang cukup untuk
ahli warisnya (keluarganya) selain upah yang dikeluarkan. Upah dalam pelaksanaan
haji ini dibolehkan sebagaimana upah dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan upah seperti ini insya Allah lebih
baik, karena dipakai dalam kebaikan …..”[1]
Mewakilkan ibadah
haji termasuk perilaku berbuat taat, Imam Syafi’i memperbolehkan hal tersebut,
pendapatnya adalah:
تَجُوزُ الإِجَارَةُ عَلَى الْحَجِّ وَ لاَ تَجُوزُ عَلَى الإِماَمَةِ
فِي الصَّلاَةِ الْفَرَائِضِ
“Diperbolehkan
upah atas haji, namun tidak diperbolehkan upah untuk imam shalat fardhu.”[2]
Menurut riwayat
Ahmad, mereka yang membolehkan memberi upah badal haji adalah Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Ibnu Mundzir. Dalil yang mereka ambil adalah sabda Rasulullah
antara lain:
إِنَّ أَحَقَّ ماَ أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْراً كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya upah
yang paling hak untuk kamu ambil ialah imbalan dari Kitabullah.” (HR.
Bukhari)[3]
Para sahabat pernah
menerima upah dari hasil ruqyah dengan surah al-Fatihah. Lalu, mereka menceritakan
hal tersebut kepada Rasulullah mendengar hal itu, Rasulullah membenarkan tindakan
mereka. Untuk menegaskan kehalalan perbuatan mereka, Rasulullah SAW bersabda;
احْتَجِمْ وَ اعْطِ الْحَجَّامَ أَجْرَهُ
“Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”[4]
Orang yang telah
mengumpulkan semua syarat haji dari segi harta (materi), tetapi dia sudah lemah
untuk melakukannya sendiri secara langsung karena tua, atau diserang penyakit
yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, maka kewajiban untuk melaksanakannya secara
langsung gugur, begitulah menurut kesepakatan ulama’ mazhab, berdasarkan firman
Allah QS. al-Hajj:
وَ ماَ جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Dari penjelasan di
atas menurut penulis, Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan badal
haji karena menurut
beliau ibadah haji tidak gugur meskipun
orang tersebut tidak mampu secara fisik karena udzur yang membuatnya tidak bisa
melakukan ibadah haji sendiri maupun telah meninggal dunia, dengan catatan bahwa
seseorang tersebut secara finansial mampu untuk mengupah haji kepada seseorang,
dan keluarga yang ditinggal, juga mampu untuk
membiayai badal haji bagi keluarganya yang telah meninggal. Hal tersebut
menurut imam Syafi’i sangat dianjurkan karena harta itu ditasyarufkan (digunakan)
dalam hal kebaikan. Oleh sebab itu, beliau memperbolehkan untuk
mengupah/mengambil upah badal haji atas jasa yang dilakukan pembadal.
SEKILAS-INFOku_
ReplyDeletehttps://www.sarapanpagi.org/kumpulan-theology-njlajahweb-vt8496.html
---
https://laskarislam.indonesianforum.net/search?search_keywords=infoku
---
https://www.sarapanpagi.org/tritunggal-vt8510-20.html
---
https://edyprayitno.wordpress.com/2016/12/20/dialog-islam-kristen-topik-natal-2016-dengan-aldo-tulung-allo/comment-page-2/#comment-109546