PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG UPAH BADAL HAJI


Menurut Imam Abu Hanifah kewajiban haji gugur dari segi kewajiban fisik (badan), tapi kalau dia berwasiat agar mengeluarkan upah haji, maka ahli warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji, sebagaimana wasiat untuk kebaikan-kebaikan yang lain. Tapi kalau  tidak  berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.[1]
Adapun upah berbuat taat, di dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa, ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, atau puasa, atau mengerjakan haji, atau membaca al-Qur’an  yang pahalanya dihadiahkan kepada (yang menyewa), atau untuk azan,  atau untuk menjadi imam manusia atau hal-hal yang serupa itu, tidak dibolehkan, dan hukumnya haram  mengambil  upah  tersebut.[2] Mazhab Hanafi berdalil kepada sabda Nabi, yang berbunyi:
إِقْرَؤُا الْقُرآنَ وَ لاَ تَغلُوا فِيْهِ وَ لاَ تجفُوا عَنْهُ وَ لاَ تَأْكُلُوا بِهِ وَ لاَ تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
Bacalah al-Quran Janganlah kalian mengkhianatinya, janganlah kalian berpaling darinya, janganlah kalian makan darinya, dan janganlah kalian menginginkan banyak (mendapat harta) dengannya.”[3]
Dan sabda Rasulullah kepada Amr bin Ash:
وَ إِنِ اتَّخَذْتَ مُؤَذِّناً فَلاَ تَأْخُذْ عَلَى الآذَانِ أَجْراً
“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’azzin maka janganlah kau pungut dari azan sesuatu upah.”[4]
Karena perbuatan yang tergolong taqarrub apabila berlangsung, pahalanya jatuh kepada si pelaku, karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu.
Menurut hemat penulis dari data di atas bisa di lihat bahwa pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah sangat ketat dalam urusan ibadah (dalam hal ini ibadah qurbah yaitu badal haji), yang menurut beliau dalam mengambil upah badal haji itu dilarang dengan meng-qiyas-kan dari dalil di atas, terlebih lagi diperkuat dengan beberapa ayat al-Qur’an diantaranya firman Allah:
وَ أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ ماَ سَعَى
Sesungguhnya manusia itu hanya akan mendapatkan pahala dari amal yang dilakukannya sendiri.” (QS. al-Najm[52]: 39)     
Dengan demikian menurut penulis pendapat Imam Abu Hanifah adalah tidak diperbolehkannya mengambil upah badal haji bagi seseorang yang mewakilkan ibadah haji hal ini disebabkan karena seorang pembadal harusnya dengan sukarela melakukan perbuatan tersebut dengan dasar ta’awun atau tolong menolong, meskipun ada lebih dari upah perjalanan dan tinggal di Makkah, harus dikembalikan lagi sisanya, kecuali keluarga yang menyuruh memberikan hadiah berupa imbalan atau lain sebagainya, karena jasa yang dilakukan oleh pembadal haji tersebut.




[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: PT Alma’arif, cet. pertama, 1987) 11.
[2] Ibid., 14.
[3] Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria; Menjalankan Ibadah Sesuai Tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, Cet. I (Jakarta: Almahira, 2007), 661.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: PT Alma’arif, cetakan pertama, 1987), 14.

No comments:

Post a Comment