Indonesia
adalah sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya beragama islam, tapi dalam kenyatanya
tidak semua masyarakatnya menjalankan ajaran dengan sempurna, yang hampir
rata-rata bisa menempati posisi penting dalam pemerintahan yang dari mulutnya kebijakan-kebijakan
bisa muncul, ironisnya kebijakan itu selalu memihak pada kalangan atas. Hal ini
bisa kita lihat pada pemerintahan orde baru.
Ada
beberapa penguasa di negeri ini yang dzalim, otoriter, berbuat sewenang-wenang.
Walaupun bentuk kedzalimanya berbeda dengan kedzaliman Fir’aun, tapi secara
karakter para penguasa itu tidak berbeda dengan Fir’aun. Kekuasaan dia melebihi
kekuasaan seorang raja.
Seorang rajapun
akan tetap tunduk pada hukum, tetapi para penguasa dan para pengikutnya telah
berani merubah negara hukum menjadi negara kekuasaan mutlak. Undang-undang
telah diselewengkan dan disihir sesuai dengan selera hatinya. Kebebasan
pendapat di bungkam dan pers-pun dibredel.
Sistem
ekonomipun di rubah dari azaz kekeluargaan menjadi ekonomi liberal, dimana dia
dan keluarganya beserta konco-konconya saja yang menjadi trilyuner, sementara
rakyat sengsara dalam kemiskinan selama berpuluh-puluh tahun.
Lambang
keadilan oleh dalam prakteknya pun sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,
bukan lagi gambar dewi dengan mata tertutup sambil membawa pedang dan
timbangan, melainkan diganti dengan lambang pohon beringin. Dia berfalsafah
simbol rimbun daunnya akan bisa mengayomi masyarakat, padahal dibawah naungan
pohon beringinlah mereka akan menjalankan status Quo-nya.
Para
penguasa itu telah menggiring bangsa ini ke jalan yang sesat. Dengan memecah
belah berbagai golongan dan kelompok demi kepentingan pribadi dan golonganya
sendiri, rakyat diadu domba, dipecah-belah, asalkan tujuan politik mereka
tercapai, dan masih banyak lagi kedzaliman-kedzaliman yang lain.
Orde
baru tinggal sejarah dan rakyat tidak mau sejarah itu terulang kembali, rakyat
hanya ingin reformasi secara total terhadap sistem-sistem yang telah menindas
hak-hak rakyat secara kejam.
Sistem
penguasa yang dzalim masih tampak pada pemerintahan sekarang ini. Ternyata
manusia tipe Fir’aun ini secara historis-kontekstual senantiasa mencuat ke permukaan dengan aneka
ragam bingkai ke-Fir’aunanya sendiri. Tak kurang penguasa-penguasa negara pasca
kehancuran Fir’aun masih mementingkan dirinya sendiri sambil menindas dan
menganiaya rakyatnya.
Begitu
pula tak kurang bawahan raja, dari mulai perdana menteri hingga kepala desa,
kehidupanya mirip dengan para bangsawan Mesir pada zaman itu, yang secara
sloganis akan membela rakyat, tapi kenyataanya rakyat miskin akan semakin
tertindas.
Firaun-fir’aun
kecil masih tumbuh subur dimana-mana. Masyarakat bawah sebagai realitas sosial
telah menjadi korban penindasan secara halus, ketimpangan muncul disana sini,
agama hanya dijadikan sampul dan bahkan para politikus sering main comot
ayat-ayat Allah untuk memuluskan tujuannya.
Pemerintahan
sekarang sudah berjalan dua kali jabatan, tapi belum ada tanda-tanda perubahan
yang bisa membawa bangsa dan rakyat ke arah tatanan sosial yang egaliter. Hukum
di Indonesia masih bisa dimanipulasi,
diplintir, sehingga tidak tampak
bentuk aslinya.
Pemberantasan
korupsi masih sekedar slogan moral, dimana penangananya sering terkesan sambil
lalu dan tidak serius. Pelaku korupsi yang sudah jelas didepan mata akan
menjadi kabur ketika dilimpahkan ke pengadilan, ironisnya pertimbanganya
bersifat politik bukan bersifat hukum lagi.
Rakyat
kecil yang mencuri telur bisa dihajar sampai mati, tetapi orang ternama yang
sudah jelas melakukan korupsi malah diampuni (mungkin sampai mati) dengan
alasan manusiawi.
Logika
birokrasi hukum tampaknya sudah terbalik, akalnya pun sudah tidak sehat
lagi, bagaimana tidak, mengampuni
koruptor kelas kakap dianggapnya lebih manusiawi daripada kesengsaraan rakyat,
kelaparan, yang semuanya akibat dari ulah para penghisap uang rakyat.
Disatu
sisi pemerintah ingin mengentaskan kemiskinan dengan meningkat-kan sumber daya
manusia melalui pendidikan, tapi usaha-usaha yang dilakukanya masih pincang.
Program bantuan dana operasional yang disalurkan ke sekolah-sekolah seakan-akan
menunjukan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tapi
sarana penunjang lain dikesampingkan, gedung-gedung tua bahkan ada yang sudah
roboh menjadi pemandangan yang sungguh sangat ironis. Dan lucunya lagi biaya
pendidikan sekarang ini justru sangat mahal, dan semakin tidak terjangkau oleh
masyarakat bawah.
Padahal
kemiskinan timbul bukan karena kebodohan dan kemalasan, tetapi lebih karena
sistem politik, sosial, budaya yang membuat golongan tertentu terpinggirkan dan
termiskinkan. Pemberian santunan kepada orang miskin dalam situasi seperti
sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah, karena bentuk bantuan demikian
hanya bersifat menyembuhkan permukaan tidak sampai keakar masalahnya. Ini jelas
menimbulkan penindasan baru, yakni penindasan psikologis dari yang kuat terhadap
yang lemah.
Dalam
banyak hal, pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan tanpa memikirkan
lebih jauh imbasnya terhadap rakyat kecil, RUU perburuhan akan semakin mencekik
dan akan membunuh rakyat secara perlahan jika RUU itu jadi (disyahkan). Rakyat
sebagai korban penindasan semakin dipaksa untuk menerima, perlawananpun akan
sia-sia.
Allah
telah menganugerahi kekayaan alam yang melimpah kepada negeri Indonesia ini
untuk bisa dimanfaatkan secara seimbang, bukan dengan cara yang rakus.
Penggundulan hutan yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung
jawab akan menyebabkan berbagai bencana yang lagi-lagi rakyat kecilah yang
menanggung akibatnya.
Ketika satu
mata rantai ekosistem terputus maka banijr akan melanda berbagai wilayah di
negeri ini. Birokrasi yang membuat ulah beralasan bahwa banjir terjadi bukan
karena penebangan liar, tapi karena hujan yang beberapa hari saja dikatakan
terus menerus.
Begitulah
secuil potret bangsa kita saat ini. Sangat tragis memang, karena pemimpin yang
berkuasa tidak mempunyai rasa kasih yang tidak membangun semangat egaliter
kepada rakyatnya.
Di negeri kita ini, seorang pemimpin senantiasa berorientasi
pada berapa pendapatan yang harus diperolehnya setiap bulan atau selama ia
berkuasa; bukan berapa orang yang dapat ia bantu dan selamatkan dari
keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.
Dari
gambaran di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kita sebagai bangsa
Indonesia telah mempunyai karakter-karakter yang tidak jauh beda dengan
karakteristik Alu Fir’aun, antara lain sebagai berikut:
a. Penguasanya.
Tidak
sedikit penguasa di negeri ini dari yang terkecil sampai yang teratas, sudah
menjadi Fir’aun-Fir’aun kecil, yaitu mereka yang menggunakann kekuasaanya bukan
untuk melayani, tapi justru memeras yang lemah, menindas yang kecil dan
merampas hak-hak orang yang tidak berdaya.
b. Pemilik
kekayaanaya.
Orang
kaya Alu Fir’aun adalah yang seperti Qarun. Mengumpulkan harta dengan
tanpa peduli halal dan haram. Demi mendapatkan uang tidak ragu untuk menyakiti
dan membunuh. Menjadikan alam yang gundul dan mengexploitasi seperti halnya kepada
pekerja seks komersial dan lain-lain.
c. Cerdik
pandainya adalah seperti Haman.
Yaitu mempersembahkan
kecerdasanya untuk mengabdi kepada kedzaliman bukan mengayomi dan membela yang
tertindas tapi malah menggunakan ayat-ayat Allah SWT untuk menjustifikasi
kezaliman atasnya.
d. Masyarakatnya
banyak yang sudah tidak peduli dengan perintah Allah SWT, ketika di masjid
membesarkan nama Allah SWT, tapi diluar masjid malah menyepelekanya.
Di dalam
Masjid menggunakan badan kita untuk beribadah kepada-Nya tapi di luar Masjid dia melakukan maksiat,
tangan-tangan yang digunakan untuk berdo’a adalah tangan-tangan yang
bergelimang dosa. Lidah-lidah yang kita getarkan untuk menyebut nama-Nya adalah
lidah yang berlumuran kata-kata kotor. Kepala yang kita rebahkan dalam sujud
adalah kepala-kepala yang kita dongakan dengan sombong.
Kita
semua wajib bersyukur kepada Allah karena dia masih menunjukan kasih sayangnya
kepada bangsa ini. Rentetan peristiwa mulai dari tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta,
banjir di berbagai daerah, banjir lumpur panas, Tsunami di Pangandaran, gempa
di selatan Sumatra, Banten dan Jakarta semoga bisa mengingatkan kita, terlepas
bahwa semua itu adalah siklus alam, atau musibah atau bencana ataupun apa
namanya, tapi peristiwa-peristiwa itu
adalah tanda-tanda akan kemaha-kuasaan-Nya, sebagaimana tanda-tanda kealaman
juga pernah ditunjukan kepada bangsa Mesir dan bangsa-bangsa terdahulu.
Ini
menunjukan bahwa kita dan bangsa Indonesia masih diberi kesempatan untuk
bertobat dan kembali kejalan Allah secara
orisinil, dan kita masih diberi waktu untuk berintrospeksi dan berpikir
bahwa kedlaliman akan hancur sebagaimana kehancuran peradaban Fir’aun.
No comments:
Post a Comment