MORAL PEMBEBASAN DALAM KISAH FIR’AUN


Al-Qur’an banyak menceritakan kisah-kisah para Nabi, ini merupakan titik sentral yang sangat penting sebagai pelajaran tentang sifat-sifat Allah SWT yang sepesifik seperti pengasih, pengampun, berkuasa dan memberikan hukuman. 

Kisah Musa dan Fir’aun tidak mengungkapkan sesuatu yang baru secara esensial, tetapi menghadiran kebenaran akan janji-janji Allah SWT terhadap kaum yang bersabar dalam menghadapi cobaan dan tertindas akan diberi nikmat dan kaum yang sombong akan di azab di diunia maupun di akhirat. 

Janji-janji Allah ini nyata ketika Musa a.s. diutus oleh Allah sebagai nabi revolusioner yang membawa misi pembebasan melawan otoritarianisme dan sistem pemerintahan dalam tatanan sosial yang korup dan zhalim pada masa Fir’aun, misi-misi revolusioner serupa juga diemban oleh nabi-nabi yang lain.[1]

Pesan lain yang dapat kita tarik dari kisah Fir’aun adalah tentang ketertindasan Bangsa Israil. Bani Israil sebagai orang jelata atau Masyarakat awam, disebut oleh al-Qur’an dengan Mustadl’afin (lemah dan tertidas).

Teks yang merujuk pada Mustadl’afin fil ardh muncul pada awal QS. Al-Qashash, surat yang pokoknya berkisah tentang keluarnya Bani Israil karena ditindas oleh Fir’aun dan kelas penguasa Mesir. Islam secara tegas memandang penting kaum lemah sebagai status sosial yang tertindas untuk dijadikan pemimpin dan pewaris bumi. Sebagaimana dalam QS. al-Qashash [28]:5,

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” 

Ayat ini merupakan penggalan dari rangkaian panjang yang menceritakan kisah Fir’aun sebagai representasi penguasa otoriter, diktator eksploitatif, dan menindas serta Nabi Musa dan kaumnya Bani Israil, sebagai representasi kaum lemah dan tertindas.

Istilah Mustadl’afin didalam teks ini dirasakan berlaku bagi semua orang tertindas diseluruh dunia, tanpa melihat latar belakang agamanya, Allah memberi posisi utama dan lebih jauh janji pembebasan tetap ada walaupun dalam ketiadaan iman kepada tuhan. Ini adalah contoh solideritas tuhan yang tak terbatas dan tak pilih-pilih dengan mereka yang tersisih, tertindas dan diperbudak.

Teks di atas harus ditafsiri dengan landasan gagasan tentang keutamaan posisi kaum tertindas dengan membawa ruh dasar al-Qur’an ke dalam kehidupan, serta harus didekati lewat keputusan sadar untuk menemukan makna yang memberi tanggapan secara kreatif pada penderitaan Mustadl’afin dan berpegang teguh pada pembebasan dan keadilan. Sehingga kontekstualitas dari ayat diatas bisa muncul karena sesungguhnya teks itu berbicara mengenai realitas sosial yang selalu ada pada masa sekarang atupun masa yang akan datang yang tidak jauh berbeda dengan kondisi ketertindasan Bani Israil pada masa Fir’aun.

Al-Qur’an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri dipihak masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas, al-Qur’an menyesalkan bahkan menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[2]

Teologi Qur’ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang ynag beriman untuk memerangi orang-orang jahat dan untuk menyelamatkan golongan yang lemah dan tertindas.

Salah satu dari sejumlah doktrin ajaran fundamental dalam Islam adalah prinsip-prinsip persamaan atau kesetaraan dan keadilan yang merupakan tema populisme atau pembebasan dan pembelaan terhadap kaum lemah, rakyat kecil dan tertindas.[3] Oleh karena itu, islam sesungguhnya merupakan agama kaum mustadl’afin yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an seperti disebutkan oleh Fazlurrahman, yaitu menegakkan tata sosial yang etis (berlandaskan Moral),[4] egalitarian, dan berkeadilan,[5] atau sejalan dengan dasar tujuan Islam seperti dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer, yaitu terciptanya persaudaraan universal (universal Brotherhood), kesetaraan (Equality), dan keadilan sosial (Social Justice).[6]

Dalam pandangan kosmologi al-Qur’an, konsep keadilan menyangkut pandangan tentang hukum keseimbangan (mizan) yang menguasai jagad raya.[7] Dengan demikian melanggar keadilan termasuk perbuatan dzalim, yaitu sebuah dosa kosmis, dosa yang amat berat dan bukan sekedar dosa pribadi.   



[1] Ibrahim merupakan cermin revolusi akal menundukan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Isa tampil sebagai pembela orang-orang papa yang berjuang menentang para pendeta yahudi dan saudagar yang telah bersekutu dengan penakluk Roma juga merupakan contoh revolusi roh atas dominasi materialisme, dan Muhammad merupakan teladan kaum papa, hamba sahaya, dan komunitas tertindas yang berhadapan dengan para konglomerat elit Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan menegakan masyarakat yang bebas, penuh  kasih sayang, persaudaraan dan  egaliter. Banyak cerita-cerita tentang Nabi yang secara esensial menghadirkan pembebasan dalam risalah-risalahnya. Hud menentang mereka yang mendirikan pada tiap-tiap tanah bangunan tinggi untuk bermain-main dan benteng-benteng demi kekalnya hidup mereka didunia, lih. (QS. as-Syu’ara [26]: 128); Shaleh memupuskan harapan orang-orang kaya dengan menolak masuk kedalam sistem nilai mereka, lih. (QS. Hud [11]: 62); Yusuf menolak pelecehan seksual dari Zulaikah yang kaya dan berkuasa dan menderita karena penolakan itu, lih. (QS. Yusuf [12]: 23-30).
[2] Lih. QS. al-Nisa’ [4]: 75.
[3] Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris – Arah Baru Studi Tafsir al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Ceria, 2005), cet I, hlm. 43.
[4] Islam sangat memperhatikan aspek sosial disamping aspek ritual. Al-Qur’an misalnya; membuat kriteria orang yang bertaqwa, disamping beriman kepada yang Ghaib (Tuhan), kitab-kitab, hari akhir, dan mendirikan Shalat (aspek Religiusitas), juga menginfakan sebagian harta kekayaanya untuk kepentingan sosial, al-Qur’an juga menggambarkan bahwa orang yang bertaqwa adalah yang beriaman kepada Allah, hari akhir, kitab-kitab, dan beriman kepada para nabi, mendirikan Shalat (aspek religiusitas), juga mau memberi harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang yang meminta-minta,  (memerdekakan) hamba sahaya, menunaikan zakat, menepati janji, serta bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan (aspek sosial)
[5] Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin  (Bandung: Pustaka, 1993), hlm. 54-55.
[6] Asghar Ali Engineer, Islam dan Theologi Pembebasan, terj. Agung  Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 33.
[7] Lihat (QS. ar-Rahman [55]: 7-9).

No comments:

Post a Comment