Meskipun
ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan Fira’un tergolong banyak, namun tidak
diceritakan secara kronologis, sehingga sangat menyulitkan para mufasir untuk
menjelaskan maknanya secara utuh.
Cerita tentang Fir’aun, sepak terjang dia
yang selalu menindas dan berbuat sewenang-wenang, kufur nikmat, kufur secara
akidah tauhid dengan mengaku sebagai tuhan, secara sekilas terkesan diulang-ulang,
padahal style atau gaya bahasanya berbeda beda yang tentu saja aspek penekanannya
juga berbeda-beda.
Lebih parah lagi jika kita memaknai kisah-kisah dalam
al-Qur’an tentang nasib umat-umat terdahulu termasuk didalamnya Fir’aun dipahami hanya sebatas teks saja, sehingga mengaburkan makna yang
terkandung didalamnya.
Ada
beberapa permasalahan yang sangat signifikan dalam memahami kisah-kisah dalam
al-Qur’an, antara lain:
1.
Para penafsir banyak yang terjebak dalam mempelajari kisah-kisah al-Qur’an. Hal
ini disebabkan, mereka memahami kisah-kisah al-Qur’an tersebut sebagaimana
mereka membaca teks-teks sejarah. Padahal yang lazim digunakan untuk menangkap
pesan-pesan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah dengan membacanya sebagai
teks-teks keagamaan dan teks-teks sastra yang memiliki keindahan dan keistimewaan
tersendiri.
2.
Kesatuan kisah yang diangkat dalam al-Qur’an banyak memuat dan menonjolkan
materi-materi keagamaan dan pesan-pesan khusus yang tersirat dalam kisah
tersebut, seperti pesan-pesan sosial dan moral.
3.
Al-Qur’an jarang sekali menampilkan kisah-kisah yang berhubungan dengan
unsur-unsur kejadian sejarah tertentu. Justru al-Qur’an sering dengan sengaja
menyembunyikan unsur-unsur sejarah dari suatu kisah baik itu waktu atau tempat.[1]
Untuk
mendapatkan pemahaman tentang makna kisah Fir’aun secara komprehensif harus
melalui kajian historis-kontekstual,
dalam konteks apa dan bagaimana ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu,
memahami kisah Fir’aun tidak bisa berhenti pada teksnya saja. Selama ini
pemahamam kita tentang kisah-kisah dalam
al-Qur’an cenderung bersifat ahistoris (tekstual), padahal maksud al-Qur’an menceritakan kisah itu
adalah agar kita bisa ber-pikir historis (kontekstual).
Pendekatan
kontekstual seperti diterangakan oleh Djohan Effendi, adalah metode pemahaman
yang bersifat sosio-historis, yakni mendekati suatu gagasan atau fenomena tidak
lepas dari konteks waktu, tempat kelompok dan lingkungan yang sedikit banyak
ada hubunganya dengan sebab turunya ayat tersebut.[2]
Kisah
mengenai umat-umat terdahulu sudah sangat komplit dan bervariasi, mereka semua
mengingkari Nabi-nabinya sebagai akibatnya mereka dihancur-kan Allah dengan
peristiwa bencana Alam. Karena semua cerita ini merupakan sarana pengajaran dan
pemberi pelajaran, maka bukanlah muatan sejarah, tapi pesan moral yang ingin
disampaikan oleh al-Qur’an.[3]
Al-Qur’an
sudah memerintahkan kepada kita agar mengaitkan kejadian masa kini dengan masa
lampau dengan tujuan memproyeksikan peristiwa kekinian pada struktur yang
universal.[4]
Bahkan hampir ⅓ kandungan
al-Qur’an berisi pesan-pesan Historis.[5]
[1] M. Ahmad
Khalafullah, al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah – Seni, Sastra, dan Moralitas dalam
Kisah-kisah al-Qur'an, terj. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin (Jakarta:
Paramadina, 2002), cet I, hlm. 15
[2] Rosihun Anwar,
Samudra al-Qur’an (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), hlm.276.
[3] Fazlurrahman, W.C.
Smith…..[et-al], Agama untuk Manusia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet I. hlm. 18.
[4] Lih. (QS. al-Qamar
[54]: 41).
[5] TH. Thalhas, Hasan
Basri, Spektrum Saintifika al-Qur’an
(Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur’an Pase, 2001), cet I, hlm. 43.
No comments:
Post a Comment