Keluarga
merupakan satuan unit terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, anak yang
masing-masing anggota keluarga mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda.
Mengenai kewajiban wanita, Islam memberikan ajaran bahwa tugas seorang wanita
adalah menjadi pemimpin di rumah suaminya yakni mengurus suami dan
anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw lewat sanad Ibnu Umar:
وَ الْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهاَ وَ هِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهاَ
Dan
wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggung-jawaban
atas kepemimpinannya.[1]
Kewajiban
wanita dalam keluarga yang pokok adalah mengatur rumah tangga, termasuk di
dalamnya menerima kepemimpinan suami atau mentaatinya. Apabila istri sudah
mengetahui kewajibannya dan melaksanakannya, maka suami tidak boleh
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya atau dengan kata lain suami harus
memenuhi hak-haknya. Di akhir ayat 34 surat an-Nisa’ disebutkan:
فإن أَطعنكم فلا
تبغوا عليهنّ سبيلا إنّ الله كان عليّا كبيرا
Kemudian
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. (Qs. An-Nisa’: 34)
Mengenai
hak wanita (istri) Rasulullah menjelaskan sebagai berikut:
عن حكيم بن معاوية
القشيري عن أبيه قال قال يا رسول الله ما حق زوجة أحدنا عليه؟ قال أن تطعمها إذا
طعمت و تكسوها إذا اكتسوها و لا تضرب الوجه و لا تقبح و لا تهجر إلا في البيت
Dari
Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari Bapaknya, ia berkata; saya berkata: “wahai
Rasulullah, apa hak seorang istri dari kami?” Rasulullah menjawab: “Supaya kamu
memberinya makan ketika kamu makan, kamu beri pakaian ketika berpakaian (ketika
kamu memperolehnya) dan janganlah kamu memukul wajih, mengucapkan kata-kata
jelek atau meninggalkannya kecuali di dalam rumah.[2]
Dalam
masalah penerimaan harta warisan, Islam telah mengangkat kedudukan wanita,
mengeluarkannya dari nasib yang mirip budak dan menempatkannya sejajar dengan
pria. Islam mengatur penetapan bagian wanita dalam jumlah separuh dari bagian
kaum lelaki, sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an:
يوصيكم الله في
أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
Allah
menetapkan bagi kalian bagian (harta warisan) anak-anak kalian, yaitu: bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
(Qs. an-Nisa’: 11)
Islam
tentu memiliki alasan ketika menetapkan bagian wanita yang di bawah bagian
pria. Lelaki memang jelas mengungguli wanita dalam penghasilan, perlindungannya
atas keluarga dan berbagai kemaslahatan umum terhadap suku atau bangsanya.
Beban-beban seperti inilah yang menjadikan lelaki menghadapi berbagai resiko
dan kesulitan yang memerlukan pengorbanan hartanya. Maka bila lelaki ditentukan
memperoleh bagian warisan yang lebih banyak, hal itu tidaklah sulit dipahami
dan diterima.[3]
[1] Imam bukhari, Shahih Bukhari,
Juz V, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm.
474
[2] Imam Abu Dawud, Sunan Abu
Dawud, Juz II, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), hlm. 110.
[3] Al-Thahir Al-Hadad, Wanita
dalam Syari͛at dan
Masyarakat, terj. M. Adib Bisri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992),
Cet. III, hlm. 34.
No comments:
Post a Comment