TASAWUF DAN POLA HIDUP MATERIALITISME

halaqah
Tasawuf atau sufisme dan segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud, sabar, tawakal, dan termasuk qona’ah akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di banyak dunia modern.
Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjajikan kedamaian dan ketenteraman sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak mengimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bahkan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya dalam masyarakat yang menginginkan kembali pada kebahagiaan sejatinya.[1] Karena tasawuf lebih menekankan pada moral, maka semakin bermoral semakin bersih dan bening (shofa) jiwanya.[2] Bukankah kebeningan hati dan kejernihan jiwa merupakan pangkal dari keselamatan jiwa dan memperoleh kesehatan mental.
Penyebab utama dalam diri manusia yang mengalami ganguan dan penyakit kejiwaan dalam pandangan tasawuf adalah kekosongan spritual. Padahal, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spritual. Sebab ada 3 alasan tasawuf sebagai terapi,
Pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi indikator dalam agama. Dalam ungkapan Wiliam James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, pengetahuan dari pengalaman tersebut disebut Neotic. Pengalaman keagamaan ini memberi sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama.
Kedua, Kahadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan mistik, seperti ma’rifat, mahabbah, uns, dan sebagainya mampu menjadi moral force bagi amal-amal shalih. Dan selanjutnya, amal shalih akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan tinggi kualitasnya,
Ketiga, dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalani atas rasa kecintaan, Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang sempurna, indah, penyayang, pengasih, kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapanpun dan dimanapun. Hubungan antara hamba dengan Allah akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, menghindarkan diri dari penyimpangan-penyimpangan perbuatan tercela karena hubungan mesra tersebut sebagai moral kontrol.[3]
Dengan ajaran tasawuf yang menambah moralitas akan mendorong manusia untuk memelihara diri dari menelantarkan kebutuan-kebutuhan spiritualitasnya. Hubungan perasaan mistis dan pengalaman spritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia. Dengan jiwa bersih, segar tentu akan dapat memperoleh kesehatan jiwa dan kestabilan mental, keharmonisan diri dan tentunya terpelihara kesehatan mentalnya.
Aturannya bagi orang sufi seharusnya kefakiran menjadi rasanya, sabar menjadi pakaiannya, ridha menjadi wahananya dan tawakal menjadi tingkah lakunya. Tidak boleh mencintai dunia selamanya walau memilikinya, karena kecintaannya pada dunia akan menodai kesucian kecintaannya pada Allah. Mencintai dunia melebihi kebutuhannya akan menjauhkannya dari ketentramannya jiwa.[4]
Maka jelaslah tasawuf dengan ajaran-ajarannya merupakan terapi untuk menanggulangi pola hidup konsumtifisme, materialitisme, individualisme dan macam-macam penyimpangan lain yang merupakan penyebab dari ketidak sehatan mental. Dengan menjalankan ajaran-ajaran tasawuf akan mengembalikan manusia dalam kebeningan hati, kebersihan jiwa yang nantinya menyejukkan dan menentramkan jiwa, itulah manifestasi dari kesehatan mental yang dilahirkan oleh tasawuf.

[1] K.H. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994, hlm. 83
[2] Amin Syukur (etal), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Waliosongo Press, 2001, hlm. 23
[3] Ibid., hlm. 25-26
[4] Al-Ghazali, Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi, (terj) Muhammad Abu Hamid Luqman Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 25











MAKNA IMAN

iman
Iman menurut bahasa berarti kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati atau keteguhan hati.[1] Iman berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar amana-yu’minu-imanan artinya beriman atau percaya. Percaya dalam bahasa Indonesia artinya meyakini atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercaya) itu, memang benar atau nyata adanya.[2]
Sedangkan menurut hadits yang diriwayatkan oleh muslim dari Abdullah bin Umar bahwa Iman itu adalah:
عن أبي هريرة قال كان النبي صلى الله عليه و سلم بارزا يوما للناس فأتاه رجل فقال ما الإيمان؟ قال الإيمان أن تؤمن بالله و ملائكته و كتبه و بلقائه و رسله و تؤمن بالبعث
Dari Abi Hurairah berkata, Nabi Saw suatu hari ketika orang-orang berkumpul, maka datang seorang laki-laki dan berkata: apakah iman itu?, Nabi menjawab Iman adalah percaya kepada Allah, kepada malaikat Allah, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, ketentuan-ketentuan Allah Swt dan percaya kepada Hari kiamat. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)[3]
Meski esensi iman itu tashdiq sebagimana tersebut di atas, namun ternyata tidaklah cukup demikian. Iman menuntut lebih dari itu yaitu pengucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati dan perilaku konkret sebagai realisasi.
Jadi, Iman bisa dikatakan kesatuan dari tiga dimensi, yakni pembenaran, pengucapan dan pengamalan. Ketiga unsur ini harus berjalan serasi dan tidak boleh timpang antara satu dengan yang lainnya. Apa yang dipercaya hendaknya secara nyata dibuktikan dengan ikrar lisan, disesuaikan dengan perbuatan, bukan sebaliknya lain di mulut lain pula di hati dan lain pula yang dilakukannya. Bila pebuatan tidak sesuai dengan apa yang diucapkan, hal itu bukanlah perbuatan yang muncul dari iman, karena iman seharusnya menampilkan hal-hal positif yang seirama dengan detak hati dan ucapan lidah.

[1] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 18.
[2] Kaelany HD, Iman, Ilmu dan Amal Saleh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 58.
[3] Syekh Abdul Aziz, Syekh Baiz Abdul Qadir Qhozawi, Jawahir Shahih Al-Bukhari, Syarah Imam Ibnu Hijr al-'Asqolani, (Beirut: Daar Ihyaa' al'uluum, tt.), hlm. 38.








ILMU DAN IMAN

simbah ngaji
يا أيها الذين آمنوا إذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم و إذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذين آمنوا منكم و الذين أوتوا العلم درجات و الله بما تعملون خبير
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah SWT akan melapangkan (tempat) untukmu. Dan apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdiri, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi Ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Swt Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Mujadalah: 11)
Ayat ini menerangkan tentang perintah untuk memberi kelapangan dalam segala hal kepada orang lain. Ayat ini juga tidak menyebut secara tegas bahwa Allah Swt akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari sekadar beriman, tidak disebutkan kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimiliki itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.[1]
Yang dimaksud dengan (و الذين أوتوا العلم) yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman jadi dua, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh, yang kedua beriman, beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kedua kelompok ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan atau tulisan maupun keteladanan.[2]
Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan hanya ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dan dalam pandangan al-Qur'an ilmu tidak hanya ilmu agama, tetapi juga yang menunjukan bahwa ilmu itu haruslah menghasilkan rasa takut dan kagum pada Allah Swt, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan mahkluk.[3]
Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa ayat tersebut mengandung dua tafsir,
Pertama, jika seseorang disuruh melapangkan majlis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekalipun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut duduk dimuka, janganlah berkecil hati, melainkan hendaklah dia berlapang dada, karena orang yang berlapang dada itulah kelak orang yang akan diangkat Allah Swt Iman dan Ilmunya, sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi memberikan tempat kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya.
Kedua, memang ada orang yang diangkat Allah Swt derajatnya lebih tinggi dari pada orang kebanyakan, yaitu karena Imannya dan karena Ilmunya. Setiap haripun dapat kita melihat raut muka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang arif dan bijaksana.[4]
Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga pada moral, sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman dan Ilmu membuat orang jadi mantap, agung, walau tidak ada pangkat dan jabatan yang disandangnya, sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri.
Pokok hidup utama adalah Iman dan pokok pengirimnya adalah Ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka menyembah Allah Swt, padahal mendurhakai Allah Swt. Sebaliknya orang yang berilmu saja tanpa disertai iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan dirinya sendiri ataupun bagi sesama manusia. Ilmu manusia tentang atom misalnya, alangkah penting ilmu itu kalau disertai iman, karena dia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh manusia. Tetapi ilmu itupun dapat digunakan orang untuk memusnahkan sesama manusia, karena jiwanya yang tidak terkontrol oleh iman kepada Allah Swt.
Ayat tersebut di atas selanjutnya sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri majlis ilmu. Orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah Swt.[5]
Sesungguhnya Allah Swt menyukai dan memuliakan orang-orang yang telah beriman dan bertakwa dengan sebenar-benar iman, disertai dengan pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat, baik ilmu umum maupun ilmu agama.
Menuntut ilmu pengetahuan dalam arti luas yaitu ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, karena kedua ilmu tersebut yang dibutuhkan manusia, khususnya umat Islam agar ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diperolehnya dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi antara kedua ilmu itu harus saling berpadu, saling mengisi karena sejak awal mula al-Qur'an diturunkan sudah mulai memerintahkan agar membaca (berpikir) dengan menyebut nama Allah Swt (berzikir).
إقرأ باسم ربك الذي خلق
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. (Qs. al-‘Alaq: 1)
Perintah Allah Swt "bacalah" berarti berpikirlah secara teratur dan sistematik dan terarah dalam mempelajari firman dan ciptaan-Nya. Adapun dalam proses membaca harus dilaksanakan dengan menyebut nama Tuhanmu, berarti harus berpadu dengan zikir.[6] Karena mempelajari ilmu agama juga menjadi kewajiban bagi umat Islam sebagaimana firman Allah Swt.
و ما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلو لا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين و لينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada-Nya, supaya mereka itu dapat menyadari dirinya. (Qs. at-Taubah:122)
Ayat tersebut memberikan petunjuk tentang kewajiban memperdalam ilmu agama dalam arti mempelajari sekaligus mengajarkannya pada orang lain, karena perbuatan ini juga mulia dan mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah Swt sama dengan berjihad mengangkat senjata melawan musuh.

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 79
[2]Ibid.
[3] Ibid., hlm. 80.
[4] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, PTELTD, 1990), hlm. 7226.
[5] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 157.
[6] R.H.A. Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi, dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 102.
























DOA TAHLIL

TAHLILAN
Versi 1
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الحمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ محمدٍ فِي الأَوَّلِيْنَ وَ صَلِّ و سلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا محمدٍ فِي الآخِرِينَ وَ صَلِّ و سَلِّمْ علَى سيدِنَا محمدٍ فيِ كُلِّ وَقْتٍ وَ حِيْنٍ وَ صَلِّ وَ سلِّمْ عَلىَ سيدِنا محمدٍ فيِ الْمَلَإِ الأَعْلَى اِلَى يَومِ الدِّينِ. اللهمَّ اجْعَلْ وَ أَوْصِلْ ثَوَابَ ماَ قَرَأْناَهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَ ماَ هَلَّلْناَهُ مِنْ قَوْلِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَ قَولِ سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ وَ ماَ صَلَّيْناَهُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فيِ هَذاَ الْمَجْلِسِ الْمُبَارَكِ هَدِيَّةً وَاصِلَةً إِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِناَ وَ نَبِيِّناَ وَ مَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ آبآئِهِ وَ إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ وَ آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ أَزْوَاجِهِ وَ ذُرِّيَّاتِهِ وَ أَهْلِ بَيْتِهِ أَجْمَعِيْنَ وَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَ الأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَ الْعُلَماَءِ الْعَامِلِيْنَ وَ أَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِيْنَ وَ خُصُوصاً إِلَى رُوحِ ...... اللهُمَّ اجْعَلْهُ فِداَءً لَهُ مِنَ النَّارِ وَ فِكَاكاً لَهُمْ مِنَ الناَّرِ اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَ عَافِهِمْ وَ اعْفُ عَنْهُمْ وَ وَالِدِيْناَ وَ وَالِدِيْهِمْ وَ لِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللهُمَّ أَعِزِّ الإِسْلاَمَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَ اعْلِ كَلِمَتَكَ إِلَى يَومِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ آمِنَّا فِيْ دُورِناَ وَ اصْلِحْ وُلاَةَ أُمُورِناَ. وَ اجْعَلِ اللهُمَّ وِلاَيَتَناَ فِيْمَنْ خَافَ وَ اتَّفَاكَ. اللهُمَّ انْصُرْ سُلْطاَنَناَ سُلْطَانَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ اْنْصُرْ وُزَرَاءَهُ وَ وُكَلاَءَهُ وَ عَسَاكِرَهُ وَ عُلَماَءَهُ إِلَى يَومِ الدِّيْنِ وَ اكْتُبِ السَّلاَمَةَ وَ الْعَافِيَةَ عَلَيْناَ وَ عَلَى الْحُجَّاجِ وَ الْغُزَّاةِ وَ الْمُسَافِرِيْنَ وَ الْمُقِيْمِيْنَ وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Versi 2
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الحمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْداً شَاكِرِيْنَ حَمْداً ناَعِمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَ يُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ اللهمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الأَوَّلِيْنَ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الآخِرِيْنَ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَ حِيْنٍ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْمَلَإِ اْلأَعْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ وَ أَوْصِلْ وَ تَقَبَّلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْناَهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَ مَا قُلْنَاهُ مِن قَوْلِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ مَا سَبَّحْنَا اللهَ وَ بِحَمْدِهِ وَ مَا صَلَّيْنَاهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم فِي هَذِهِ الْمَجْلِسِ الْمُبَارَكِ هَدِيَّةً وَاصِلَةً وَ رَحْمَةً نَازِلَةً وَ بَرَكَةً شَامِلَةً وَ صَدَقَةً مُتَقَبَّلَةً تُقَدِّمُ ذَلِكَ وَ نُهْدِئُهُ اِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِناَ وَ حَبِيْبِناَ وَ شَفِيْعِنَا وَ قُرَّةِ أَعْيُنِنَا وَ مَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَ اِلَى جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ مِنَ الأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ وَ الأَوْلِيَاءِ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَ الصَّحَابَةِ وَ التاَّبِعِيْنَ وَ العُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَ الْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَ جَمِيْعِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِ اللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَ الَمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوصاً اِلَى سَيِّدِنَا الشَّيخِ عَبْدِ القَادِرِ الْجِيْلاَنِي وَ خُصُوصاً اِلَى حَضْرَةِ رُوحِ .... ثُمَّ اِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ القُبُورِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الأَرْضِ وَ مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَ بَحْرِهَا خُصُوصاً إِلى آبَائِنَا وَ أُمَّهَاتِنَا وَ أَجْدَادِنَا وَ جَدَّاتِنَا وَ نَخُصُّ خُصُوصاً اِلَى مَنِ اجْتَمَعَنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ وَ لِأَجْلِهِ. اللهمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ وَ عَافِهِمْ وَ اعْفُ عَنْهُمْ اللهمَّ أَنْزِلِ الرَّحْمَةَ وَ الْمَغْفِرَةَ عَلىَ أَهْلِ القُبُورِ مِن أَهْلِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمدٌ رَسُولُ اللهِ رَبَّنَا آتنِاَ فيِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فيِ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Versi 3
أَسْتَغْفِرَ اللهَ الْعَظِيمْ أَسْتَغْفِرَ اللهَ الْعَظِيمْ أَسْتَغْفِرَ اللهَ الْعَظِيمْ يَا مَوْلاَناَ ياَ مَعْبُودُ اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ حَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا وَ نَبِيِّناَ وَ مَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَ سَلِّمْ وَ رَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ. الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْداً شَاكِرِيْنَ حَمْدًا نَاعِمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ ياَ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِكَ الْكَرِيْمِ وَ لِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. اللهمَّ صَلِّ عَلىَ سيَدِنَا مُحمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ ناَصِرِ الْحَقِّ باِلْحَقِّ وَ الْهَادِي اِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ. اللهمَّ تَقَبَّلْ وَ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْناَهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَ مَا هَلَّلْنَا وَ مَا سَبَّحْنَا وَ مَا اسْتَغْفَرْنَا وَ مَا صَلَّيْنَا عَلى سَيِّدِنَا مُحَمدٍ صلى الله عليه و سلم هَدِيَّةً وَاصِلَةً وَ رَحْمَةً ناَزِلَةً وَ بَرَكَةً شَامِلَةً اِلَى حَضْرَةِ حَبِيْبِنَا وَ شَفِيْعِنَا وَ قُرَّةِ أَعْيُنِنَا سَيِّدِناَ وَ مَوْلاناَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَ اِلَى جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ مِنَ الأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ وَ الأَوْلِيَاءِ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَ الصَّحَابَةِ وَ التَّابِعِيْنَ و َالعُلَمَاءِ الْعاَمِلِيْنَ وَ جَمِيْعِ الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ ثُمَّ اِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الْقُبُورِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الأَرْضِ اِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَ بَحْرِهَا وَ اِلَى أَرْوَاحِ آبَآئِنَا وَ أُمَّهَاتِنَا وَ أَجْدَادِنَا وَ جَدَّاتِنَا وَ مَشَايِخِنَا وَ مَشَايِخِ مَشَايِخِنَا وَ أَسَاتِذَتِنَا وَ اِلَى أَرْوَاحِ خُصُوصاً .... اللهمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ وَ عاَفِهِمْ وَ اعْفُ عَنْهُمْ اللهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ وَ لاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ وَ اغْفِرْ لَناَ وَ لَهُمْ. رَبَّناَ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سيِّدِناَ مُحمّدٍ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Versi 4
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الحمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْداً شَاكِرِيْنَ حَمْداً ناَعِمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَ يُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ اللهمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الأَوَّلِيْنَ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الآخِرِيْنَ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَ حِيْنٍ وَ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْمَلَإِ اْلأَعْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ وَ أَوْصِلْ وَ تَقَبَّلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْناَهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَ مَا هَلَّلْناَهُ مِن قَوْلِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ مَا سَبَّحْنَا اللهَ وَ بِحَمْدِهِ وَ مَا صَلَّيْنَاهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم فِي هَذِهِ الْمَجْلِسِ الْمُبَارَكِ هَدِيَّةً وَاصِلَةً وَ رَحْمَةً نَازِلَةً وَ بَرَكَةً شَامِلَةً وَ صَدَقَةً مُتَقَبَّلَةً اِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِناَ وَ حَبِيْبِناَ وَ شَفِيْعِنَا وَ قُرَّةِ أَعْيُنِنَا وَ مَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَ اِلَى جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ مِنَ الأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ وَ الأَوْلِيَاءِ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَ الصَّحَابَةِ وَ التاَّبِعِيْنَ وَ العُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَ الْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَ جَمِيْعِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِ اللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَ الَمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوصاً اِلَى سَيِّدِنَا الشَّيخِ عَبْدِ القَادِرِ الْجِيْلاَنِي ثُمَّ اِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الْقُبُورِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الأَرْضِ اِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَ بَحْرِهَا و خُصُوصاً الى آبَآئِنَا وَ أُمَّهَاتِنَا وَ أَجْدَادِنَا وَ جَدَّاتِنَا و نَخُصُّ خُصُوصاً اِلىَ ... اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ\لهَاَ\لَهُمَا\لَهُمْ وَ ارْحَمْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ عَافِهِ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ اعْفُ عَنْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ اكْرِمْ نُزُلَهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ وَسِّعْ مَدْخَلَهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ اغْسِلْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) بِالْمَاءِ وَ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ وَ نَقِّهِ (هاَ\هُمَا\هُمْ) مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَ أَبْدِلْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) دَارًا خَيْرًا مِنْ داَرِهِ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ أَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ زَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ أَدْخِلْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) الْجَنَّةَ وَ أَعِذْهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ عَذَابِ النَّارِ اللهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ لاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) وَ اغْفِرْ لَنَا وَ لَهُ (هاَ\هُمَا\هُمْ) اللهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَ مَيِّتِنَا وَ شَاهِدِناَ وَ غَائِبِناَ وَ صَغِيْرِنَا وَ كَبِيْرِناَ وَ ذَكَرِنَا وَ أُنْثاَناَ اللهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَ مَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّاهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ رَبَّناَ آتِنَا فِي الدُّنْياَ حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَ عَلىَ آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ بَاَركَ وَ سَلَّمَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعاَلَمِيْنَ الَفاَتِحَةِ







WANITA BEKERJA

perempuan kerja
Kaum wanita pada zaman sekarang banyak sekali yang mengerjakan kegiatan di luar rumah, tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai karena tujuan merupakan hasil akhir dari seorang wanita setelah melakukan pekerjaan.
Kebanyakan wanita muslimah bekerja di luar rumah karena faktor ekonomi, tetapi kadang-kadang disebabkan kebutuhan akan sesuatu yang lebih menarik daripada kehidupan di rumah yang membuat mereka bosan dan kesepian atau ia memiliki sesuatu yang berharga untuk disumbangkan melalui pekerjaan itu, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.
Menurut Dadang Hawari terdapat dua motivasi yang mendasari seseorang bekerja, yaitu: pertama, mengembangkan karier dan kedua turut mencari penghasilan disamping suami.[1]
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selam pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.[2]
Dengan memperhatikan hal di atas, kaum wanita boleh melakukan pekerjaan yang dapat membantu suaminya dalam memenuhi kehidupan mereka, tetapi tidak meninggalkan tugasnya yang utama yaitu sebagai ibu rumah tangga, karena ibu lah yang akan dapat membentuk kepribadian anak. Sehingga disunnahkan bagi wanita melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan berikut yaitu:
a. Berkarier demi membantu perekonomian keluarga, agar lebih baik.
b. Berkarier demi mengembangkan bakat dan semua potensi yang dimiliki.
c. Berkarier demi mengembangkan keahlian yang ia miliki, setelah menyelesaikan jenjang pendidikan formal.
d. Berkarier, karena memang sangat dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Dan itu dianggap suatu yang amat emergensi (darurat), seperti hal-hal yang khusus berkaitan dengan perempuan, maka sebaiknya perempuan yang melakukan.
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan itu membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.[3]
Dengan demikian, seorang pria harus mengetahui dengan jelas tujuan karier wanita dalam kehidupan sosial. Karena pada dasarnya wanita tugasnya di dalam rumah, tetapi karena kebutuhan yang mendorong mereka keluar akhirnya seorang wanita keluar untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan harus sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan oleh agama.
Secara kodrati wanita mempunyai fungsi, peran dan tanggung jawab yang tidak kecil dalam keluarga. Fungsi, peran dan anggung jawab tersebut sangat dominan karena iklim rumah tangga yang harmonis memerlukan fungsi, peran dan tanggung jawab yang tepat. Melalui keharmonisan rumah tangga wanita menumbuh-kembangkan anak.
Kehidupan keluarga merupakan wahana pertumbuhan sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh karena itu pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah, di dalam kehidupan keluarga. Dan wanita adalah pengelola utama keluarga yang mendidik dan mengembangkan fungsi-fungsi dasar kehidupan anak.
Sejarah perjalanan dan perkembangan umat manusia menunjukkan, paling tidak ada tiga peran yang melekat pada diri seorang wanita yaitu: “sebagai penerus generasi, sebagai pengasuh, dan sebagai pendidik anak”.[4]
Ada beberapa peran yang dilakukan oleh wanita karier dalam proses kehidupannya,[5]
a. Peran sebagai istri
Peran istri disini dapat dikatakan sebagai peran yang mudah. Istri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan “peran sebagai kekasih suami, tetapi hendaknya pada situasi-situasi tertentu ia mampu berlaku sebagai ibu, sahabat bahkan pelindung suami”.[6]
b. Peran sebagai ibu
Peran sebagai seorang ibu tidak dapat dianggap sepele. Tugas sebagai ibu yang termasuk didalamnya adalah mendidik anak, dimana dalam mendidik anak tidak dapat dikerjakan secara sambilan, namun merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah yang harus dipikul oleh seorang wanita. Keberhasilan dalam mendidik anak oleh seorang ibu tidak dapat ditandai oleh tercapainya titel yang tinggi, bukan pula kekayaan yang banyak atau jabatan yang tinggi.[7]
Namun keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anak secara hakiki adalah berhasilnya anak-anak dalam mendapatkan keselamatan di akhirat kelak.[8] Tetapi tidak berarti bahwa bekal di dunia tidak penting. Kecenderungan yang nampak saat ini banyak seorang ibu yang membekali anaknya dengan bekal keduniaan, sementara urusan keakhiratan anaknya sering terlupakan.
c. Peran sebagai anggota masyarakat.
Islam tidak melarang wanita atau seorang istri/ibu bekerja di sektor publik atau diluar rumah, asalkan tugas utama sebagai istri dan sebagai ibu tidak diabaikan begitu saja tanpa tanggung jawab secara penuh. Kebanyakan dari mereka ikut membina masyarakat, berpartisipasi dalam sistem pendidikan, sistem kesehatan, dakwah, mengukuhkan kerukunan rumah tangga, terlibat dalam urusan ekonomi dan ketenteraman”.[9]
Keberadaan wanita karier yang bekerja di sektor publik atau wanita karier dalam keluarganya memiliki fungsi yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Banyak fungsi-fungsi yang dapat ia perankan sehingga mampu membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Diantaranya adalah:
1) Untuk menopang kebutuhan keluarga.
2) Anak perempuan dari ibu yang bekerja lebih mengagumi ibu mereka.
3) Anak lelaki tidak dirugikan bila ibu mereka bekerja diluar rumah, kecuali bila hal itu disertai dengan kegagalan ayah sebagai pemimpin keluarga.
4) Seorang ibu yang menggunakan seluruh waktunya di rumah, secara emosional akan terikat pada anak-anaknya, si ayah mungkin mulai merasakan dirinya sebagai orang luar. Bila kedua orang tua bekerja, keduanya akan terlibat secara berimbang dengan anak-anak serta dapat merasakan hubungan mereka satu sama lain.[10]
Dari uraian di atas menunjukkan beberapa aktivitas wanita terutama berposisi sebagai orang tua lebih banyak berkaitan dengan posisinya sebagai ibu dan anggota masyarakat.

[1] Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bhakti Primakasa, 1997), hlm. 276
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1993), hlm 275
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1993), hlm. 275
[4] Susi Partini Suardiman, Wanita Bekerja Dan Permasalahannya, dalam Wacana Perempuan Keindonesiaan Dan Kemoderenan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1988), hlm. 262
[5] Gina Puspita, Menghadapi Peran Ganda Wanita, dalam Dadang S. Anshori, (Ed.), Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 201.
[6] Ibid., hlm. 202
[7] Ibid., hlm. 203.
[8] Ibid., hlm 203.
[9] Ibid., hlm 204.
[10] G. Wade Rowatt, Jr and Marry Jo Rowatt, The Career Marriage, (Yogyakarta: YB. Tugiyarsi, Kanisius, 1990), hlm. 29-34.




































KELUARGA SAKINAH MENURUT AL-QUR'AN DAN HADITS

cincin
Yunasril Ali menyatakan keluarga sakinah dalam perspektif al-Qur'an dan hadits adalah keluarga yang memiliki mahabbah, mawaddah, rahmah, dan amanah.[1] Menurut M. Quraish Shihab, kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nunyang mengandung makna “ketenangan” atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan.[2]
Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara pada makna sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak bahkan boleh jadi mengalami kegoncangan di luar rumah.
Menurut M. Quraish Shihab, keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu. Sakinah/ketenangan demikian juga mawadddah dan rahmat bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk aktivitas. Memang, al-Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan rahmat.[3]
Pendapat M. Quraish Shihab tersebut, menunjukkan bahwa keluarga sakinah memiliki indikator sebagai berikut: Pertama, setia dengan pasangan hidup; Kedua, menepati janji; Ketiga, dapat memelihara nama baik; saling pengertian; Keempat, berpegang teguh pada agama.
Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.[4]
Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya kerjasama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang tulus.
Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masing-masing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang intim yang juga merupakan suasana di mana putera-puteri dapat dibina dengan budi pekerti yang mulia.[5]
Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri di samping juga menjalankan peranan-peranan lain sebagai tugas hidup sehari-hari.[6]
Dengan berpijak dari keterangan tersebut, jika suami isteri menerapkan aturan sebagaimana telah diterangkan, maka bukan tidak mungkin dapat terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah itu.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya, karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman terhadap ajaran Islam.


[1] Yunasril Ali. 2002, Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta: Serambi, hlm. 200
[2] M. Quraish Shihab. 2006, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, hlm. 136
[3] Ibid, hlm. 141
[4] Ahmad Rofiq. 2000, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 181
[5] Abdul Aziz al-‘Arusy. 1994, Menuju Islam Yang Benar, terj. Agil Husain al-Munawwar dan Badri hasan, Semarang: Toha Putra, hlm. 160
[6] M. Ibnu Rasyid, 1989, Mahligai Perkawinan, Batang Pekalongan: CV.Bahagia, hlm. 75