HUKUM MENIKAH DENGAN NIAT CERAI MENURUT IBNU QUDAMAH


Al-Qur'an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafas (living entity) dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur'an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari  tulang dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah.

Atas dasar itu, prinsip al-Qur'an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki apabila jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra Islam yang ditransformasikannya.[1]

Bila kita pelajari al-Qur'an dan as-Sunnah, jelas sudah bagi kita keadilan adalah sesuatu yang utuh. Kekeliruan besar jika kita hanya mengupas keadilan hukum dan mengabaikan keadilan sosial. Serta keadilan ekonomi.

Banyak sekali ayat al-Qur'an yang mengatakan bahwa harta kekayaan tidak boleh hanya berputar putar di tangan satu kelompok keadilan juga merupakan salah satu prinsip hukum Islam.[2]

Hukum selain sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga sebagai pembentuk kehidupan masyarakat atau social enginering. Kedua fungsi itu diharapkan mampu berjalan serempak, dapat menjaga dan mengatur kehidupan agar tidak terpengaruh terhadap laju perubahan zaman yang sangat dinamis.[3]

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa menikah dengan niat cerai adalah sah ini adalah yang disepakati oleh mayoritas ulama selain al-Auza’i, yang menganggapnya sebagai nikah mut’ah. Sedangkan nikah ini bukan (berbeda dengan) nikah mut’ah.[4] Letak perbedaan dengan nikah mut’ah adalah tenggang waktu yang disebutkan dalam waktu tertentu,[5] seperti apabila ayah mempelai meminta datang maka jatuhlah talak. Maka nikah seperti ini tidak sah. Karena syarat tersebut menjadi penghalang (mani’) bagi kekalnya pernikahan.[6]

Selanjutnya Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang suami tidak hanya berniat (pada saat akad) untuk tetap mempertahankan istrinya. Boleh jadi, jika ia serasi dengannya, maka ia akan mempertahankannya dan jika tidak (serasi) maka ia boleh saja menceraikannya.[7]

Sebab niat untuk hidup selamanya bersama istri bukanlah suatu hal yang wajib, bahkan boleh saja ia menceraikannya. Apabila ia bermaksud ingin menceraikannya setelah beberapa waktu, maka ia telah meniatkan perkara yang diperbolehkannya. Jadi niat untuk mempertahankan maupun menceraikan tidak berpengaruh terhadap keabsahan akad nikah.    
                                               
Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm menyatakan bahwa jika seorang datang ke suatu negeri dan ingin menikahi seorang wanita, sementara niat keduanya atau salah satu tidak ingin mempertahankannya kecuali sebatas si pria bermukim di negeri tersebut. Kemudian keduanya melangsungkan akad pernikahan secara mutlak tanpa  ada persyaratan di dalamnya, maka nikahnya sah. Adapun niat tidak merusak pernikahan sedikitpun karena niat merupakan ungkapan hati, adakalanya seorang meniatkan sesuatu akan tetapi ia tidak melakukannya.[8]

Begitu pula dalam kitab Fath al-Qadir disebutkan, bahwa seandainya seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan dalam niatnya, dia hidup bersama hanya beberapa waktu tertentu maka nikahnya tetap sah karena pembatasan waktu yang dilarang itu hanyalah dengan ucapan.[9]

Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan juga dalam hak ekonomi yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya kekayaan itu termasuk yang didapat melalui pewarisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu mahar atau mas kawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya.[10]

Hukum Islam dituntut untuk mengerti seluruh umat Islam yang berasal tidak hanya dari kalangan Arab belaka. Namun juga berasal dari seantero dunia yang tentunya sangat bervariatif kondisi dan kebudayaannya. Maka Islam harus fleksibel dan bisa diterima kapan pun dan dimana pun hukum Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganutnya. Kemudian timbul pertanyaan, mampukah hukum Islam hidup dimana pun dan kapan pun juga?[11]

Hukum Islam yang merupakan syari’ah berasal dari al-Qur'an pada dasarnya ada tiga pokok ajaran, yakni percaya pada keesaan Tuhan, pembentukan masyarakat adil, dan percaya hidup sesudah mati. Al-Qur'an merupakan sebuah buku prinsip-prinsip  dan seruan-seruan moral, bahkan sebagai dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang penting yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat di Madinah.  Kemudian agar penafsiran al-Qur'an dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan keilmuwan dan integritas moral, maka salah satunya pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan sejarah atau historis sosiologis.[12]

Sedangkan diantara ulama kontemporer yang melarang nikah dengan niat talak dan menganggapnya serupa dengan nikah mut’ah adalah Muhammad Rosyid Ridha.  Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan bahwa ulama terdahulu (salaf) dan ulama sekarang (khalaf) sangat keras dalam melarang nikah mut’ah, pendapat ini juga melarang pendapat tentang nikah dengan niat talak. Sekalipun ulama menganggap sah nikah ini karena tidak dinyatakan ketika pelaksanaan sighat akad. Namun demikian, sikap menyembunyikan niat itu yang dianggap sebagai perbuatan penipuan mengelabuhi pihak perempuan yang lebih pantas untuk dibatalkan dari pada akad yang bersyarat dengan jelas disebutkan batas waktunya dan disetujui oleh pihak suami istri dan wali.[13]

Berdasarkan beberapa argumen yang  telah dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa nikah dengan niat cerai menurut pandangan Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja, itu bertentangan dengan beberapa hal, diantaranya keadilan bagi seorang perempuan dalam hal ini yang menjadi objek. Karena dengan konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Qudamah jelas sangat merugikan pihak perempuan, bahkan dapatlah dipertegas nikah dengan niat cerai merupakan kebohongan terselubung yang direncanakan oleh pihak laki-laki terhadap istrinya meskipun sang istri tidak mengetahui. 

Nikah dengan niat cerai juga bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri yakni salah satunya membina rumah tangga yang sakinah wamaddah wa rahmah. Bagaimana mungkin sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terbentuk jika dalam hatinya ada niat  untuk cerai dikemudian hari. 

Nikah semacam ini jika diterapkan di Indonesia maka akan sangat tidak dapat berjalan, karena seandainya nanti memang betul-betul terjadi sebuah perceraian karena memang sudah direncanakan oleh suami sejak semula maka hal tersebut tidak akan bisa diterima di Pengadilan Agama. Karena perceraian yang terjadi tidak ada alasan sama sekali. Perceraian terjadi sekonyong-konyong karena keinginan sang suami karena memang sudah direncanakan dan hal itu bertentangan dengan azaz-azaz perceraian yang ada di Pengadilan Agama.

Ada 6 asas yang prinsipil dalam Undang-undang Perkawinan ini :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut asus monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.

4. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

5.  Karena tujuan perkwainan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.

6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.[14]

Jadi pendapat Ibnu Qudamah, menikah dengan niat cerai tidak dapat diberlakukan di sini khususnya di Indonesia, karena terlalu banyak mudharat dari pada maslahah-nya, karena Islam bertujuan menciptakan keadilan dan kedamaian bagi semua makhluk tanpa membeda-bedakan. 





[1] Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1996), hlm. 129
[2] Supan Kusumamiharja,  Studia Islamica,  Cet. II, (Jakarta: Giri Mukti Pustaka, 1985), hlm. 208
[3] Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Aliran Neomodernisme Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Lesiska, 1996), hlm. 90
[4] Abu Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qadamah Al-Maqdisi, Al-Mughni li ibn Qudamah (Ttp: Maktabah Al-Jumhuriyah Al-Arabiyah, Tt), hlm. 645
[5] Ibid., hlm. 644
[6] Ibid., hlm. 646
[7] Ibid., hlm. 645
[8] Asy-Syafi’i, Al-Umm, Cet. Ke. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hlm. 118
[9] Ibnu Al-Humam, Fath Al-Qadir, Ke. 2, (ttp: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 249
[10] Mansur Faqih, op. cit., hlm. 130
[11] Muhammad Azhar, op. cit., hlm. 40
[12] Mohammad Abd. Al-Qadir Ata dan Musthafa Abd. Al-Qadir Ata,  Al Fatamen Al-Kubra Li Al Iman Al-Alamah Taqiy Abd. Ibn Taimiyah, Edisi Ke. I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[13] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Cet. Ke. 2, (Ttp: Tnp, 19973), hlm. 17
[14] Kompilasi Hukum Inslam di Indonesia, Bandung : Humaniora Utama Press, 1992 : 26 – 27.

WALI NIKAH


Istilah perwaliaan berasal dari bahasa arab dari kata dasar,  waliya, wilayah atau walayah. Dalam literatur fiqih Islam disebut dengan al-walayah (alwilayah) secara etimologis, wali mempunyai beberapa arti.  Diantaranya adalah  cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah), juga berarti kekuasaan/otoritas seperti dalam ungkapan al-wali,  yakni  orang  yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “tawally al-amri” (mengurus/mengusai sesuatu).[1]

Adapun yang di maksud dengan perwalian dalam terminologi  para fuqaha (pakar hukum islam) seperti di formulasikan oleh Wahbah Al-zuhayli ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan tanpa harus bergantung  (terikat) atas seizin orang lain.  

Dalam literatul–literatul fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi sesorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah.[2] Adapun yang di maksud dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinanya.

Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula  mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,[3] pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Safi’i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.[4]

Menurut madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik pria maupun wanita.

Sedangkan menurut Undang-undang  Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, teapi di syaratkan harus ada izin dari orang tua bagi  yang  akan  melangsungkan  pernikahan  dan  apabila  belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun disebutkan bahwa: perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[5]

Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah konsep perwalian dalam perkawinan, di atur dalam pasal 14 dan pasal  19-23.[6]  Selanjutnya akan dikutip di bawah ini: 

Pasal 14:

Untuk melaksankan perkawinan harus ada:

a. Calon suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab kabul. 
 
Pasal 19:

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya.”

Pasal 20:

(1)  “Yang  bertindak  sebagai  wali  nikah  ialah  seorang  laki-laki  yang memenuhi  syarat  hukum  islam  islam  yakni  muslim,  aqil  dan baligh.”

(2)  Wali nikah terdiri dari

a. Wali nasab
b. Wali hakim

Pasal 23:

(1) “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mungkin menghadirkanya atau tidak tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.”

(2) “Dalam  hal  wali  adlal  atau  enggan  maka  wali  hakim  baru  dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan  pengadilan Agama tentang wali tersebut.”

Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi’i wali merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa  wali, maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum  Islam (KHI) wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus  dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah.[7]




[1] Muhammad  Amin  Summa,  Hukum  Keluarga  Islam  di  dunia  Islam,  Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 2004 hlm  134
[2] Ibid hlm 35
[3] Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104
[4] Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat,  Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 82
[5] M. Idris  Ramulyo, Hukum Perkawinan,  Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 12
[6] Ratna  Batara  Munti  dan  Hindun  anisah,  Posisi  Perempuan  dalam  Hukum  Islam  di Indonesia, yogyakarta:  LkiS Yogyakarta, 2005, hlm 61
[7] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15

METODE PENGAJARAN AL-QUR’AN DI ZAMAN TABI’IN

                                                                     
Sahabat-sahabat Nabi terdiri dari beberapa golongan, yang dimana tiap-tiap golongan itu mempunyai lahjah/dialek (bunyi suara, atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya. kemudahan, Allah swt Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qur'an mempunyai beberapa (macam) lahjah/dialek. Lahjah/dialek yang biasa dipakai di tanah Arab, ada tujuh. Di samping itu ada beberapa lahjah/dialek lagi.

Sahabat-sahabat Nabi menerima Al-Qur'an dari Nabi menurut lahjah/dialek bahasa golongannya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan Al-Qur'an menurut lahjah/dialek mereka sendiri.[1]

Para  Sahabat  berpencar ke berbagai kota dan daerah, inipun atas  dasar perintah dari Nabi Muhammad saw. dengan membawa dan mengajarkan cara baca Al-Qur'an yang mereka ketahui sehingga cara baca Al-Qur'an menjadi  populer dikota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur'an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para Tabi'in menerima  cara  baca Al-Qur'an tertentu dari Sahabat tertentu.[2] 

Seperti biasanya Sahabat Nabi menyampaikan pembelajaran Al-Qur'an dengan beberapa macam metodenya kepada para Tabi'in melalui beberapa hal. Semisal; sistem bagaimana Al-Qur'an itu dapat dihafal oleh kalangan para Tabi'in, sistem tadarrus yang harus dikhatamkan dalam 2 bulan, 1 bulan, 10 hari, 1 minggu, bahkan ada yang satu hari, mentashhihkan hafalannya, tajwidnya, memberikan pemahaman kandungan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. 

Sedangkan mengenai pembelajaran terhadap tulis Al-Qur'an, para Tabi'in masih mengikuti bentuk tulisan Mushaf Al Imam, karena Mushaf itu ditulis oleh Sahabat Rasulullah saw sendiri yang menerima Al-Qur'an  langsung  dari Nabi Muhammad saw. Di samping itu penulisan Mushaf Al Imam adalah tanpa titik dan baris.[3]

Abul Aswad Ad Dualy (seorang  dari  ketua-ketua Tabi'in) memberi  baris  huruf  penghabisan dari kalimah saja dengan memakai titik diatas sebagai baris diatas dan titik di bawah sebagai tanda baris di bawah dan titik di samping sebagai tanda didepan dan dua titik sebagai tanda baris dua.[4]

Dengan meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para Sahabat dan  Tabi'in yang mengajarkan Al-Qur'an diberbagai kota menyebabkan  timbulnya  berbagai macam qira’at. Perbedaan  antara satu qira'at dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggung  jawabkan. Maka hal ini para ulama menulis qira'at ini dan sebagainya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah qira'at tujuh, qira'at sepuluh, dan qira'at empat belas.




[1] ibid, hal. 74
[2] H.  Ramli  Abdul  Wahid,  Ulumul  Qur’an    edisi  revisi,  PT  Raja  Grafindo  Persada,  Jakarta, 2002, hal. 139
[3] R.H.A. Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan terjemahnya  edisi revisi,  Mahkota Surabaya, 1989, hal. 74
[4] T.M.  Hasbi  Ash  Shiddieqy,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu-ilmu  Al-Qur'an  dan  Tafsir,  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 90

METODE PENGAJARAN AL-QUR’AN DI ZAMAN SAHABAT


Sumber pengajaran Al-Qur’an pada waktu itu adalah para Sahabat, dan mereka pula yang bertanggung jawab untuk mengajarkannya, memberi penjelasan serta pengertian tentang kandungan ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang yang baru masuk Islam.

Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna umumnya telah dipelajari dan dihafal oleh para Sahabat. Di samping  itu, Al-Qur’an masih dalam  bentuk tulisan yang berserakan yang ditulis oleh para Sahabat atas  perintah Nabi Muhammad saw selama masa penurunan Al-Qur’an, jadi belum berupa Mushaf.[1]

 Para sahabat memiliki cara tersendiri dalam mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. Setelah mereka mempelajari ayat, biasanya mereka  tidak melanjutkan pada ayat selanjutnya sehingga mereka mengamalkannya. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata,

Apabila kami mempelajari sepuluh (10) ayat Al-Qur'an dari Nabi saw, kami tidak melanjutkannya dengan ayat setelahnya sehingga kami mengamalkannya”.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami. Ia berkata, 

Kami  berbicara  dengan  orang  yang  membacakan  kepada  kami  dari sahabat Nabi saw, mereka biasa membacakan sepuluh (10) ayat lainnya sampai mereka tahu ilmu dan pengamalannya”.

Di kala ummat Islam telah berhijrah ke Madinah, saat Islam telah tersebar ke kabilah-kabilah ‘Arab, mulailah Sahabat yang dapat menghafal Al-Qur’an pergi ke kampung-kampung, ke dusun-dusun, menemui qabilah-qabilah yang telah Islam untuk mengajarkan Al-Qur’an.  Kemudian  kepada  tiap-tiap  mereka yang  telah  mempelajari, diminta mengajari teman-temannya yang belum mengetahui. Sahabat-sahabat yang mengajarkan itu pergi ke qabilah-qabilah yang lain untuk menebarkan Al-Qur’an seterusnya.

Para sahabat selalu bersegera dalam kebaikan dengan belajar Al-Qur'an dan mengajarkan serta membacakannya kepada manusia. Mereka menjadikan  pedoman kebaikan yang digariskan Rasulullah saw. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abi Umamah r.a. bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. Dan berkata, 

Aku membeli sesuatu dari Bani Fulan dan aku mendapat untung yang banyak.” Beliaupun bersabda, “Maukah kutunjukkan keuntungan  yang lebih banyak?” Ia menjawab, “benarkah?” beliau bersabda, “yaitu orang yang belajar sepuluh (10) ayat Al-Qur'an.” Maka ia pun lantas bersegera mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an. Lalu datang lagi kepada Nabi saw. Untuk menceritakannya.” (HR. Ath-Thabrani )[2]

Demikian cara para Sahabat mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an dikala Nabi masih hidup dan setelah wafatnya.  Guru–guru Al-Qur’an  dimasa  itu  dinamai  “Qurra”  (jama’ Qari  =  Ahli  Baca  dan Ahli  faham, pandai  menyebut  lafad,  cakap  menerangkan  makna  dan pengertian)   

Pada masa Rasulullah saw dan para Sahabat masih hidup pengajaran Al-Qur’an dengan cara hafalan, dan tidak dengan membaca dan menulis. Hal ini disebabkan karena mempunyai daya hafalan yang kuat,  di samping karena alat-alat  tulis  waktu  itu  belum  ada  bahkan ketika pemerintahan Islam dipegang  oleh  Khalifah  Umar  Ibn  Khattab beliau sangat mengutamakan hafalan ayat-ayat Al-Qur’an, bukan membaca dari tulisan lembaran-lembaran Al-Qur’an, sebagaimana ungkapan Hasbi Ash-Shiddiqi bahwa ‘beliau itu selalu mengumpulkan Kafilah-Kafilah Arab untuk diperiksa hafalannya, siapa saja yang tidak menghafal barang sedikit dari padanya di dera.

Abud Darda’ pada tiap-tiap beliau shalat Shubuh di jami’ Bani Umayyah di Damascus, berkerumun (berkumpul) manusia disekelilingnya untuk  mempelajari  Al-Qur’an.  Mereka  disuruh  duduk bershaf-shaf,  tiap  satu  shaf   10  orang,  dipimpin  oleh  seorang ‘Arif (pemimpin shaf) sedang Abud Darda’ berdiri tegak di Mihrab memperhatikan  bacaan- bacaan  itu. Bila seseorang diantara  pelajar-pelajar tiada mengetahui lagi, bertanyalah ia kepada pemimpin shafnya.  Jika pemimpin tiada mengetahui barulah Abud Darda’ menerangkan.  Pada suatu hari Abud Darda’ menghitung  jumlah muridnya, ternyata muridnya berjumlah 1600 orang lebih.[3] 

Islam semakin luas keseluruh penjuru bumi. Pada masa Khalifah Utsman terjadi perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an. Karena adanya perbedaan Lahjah (dialek) khalifah Utsman  ibn Affan membentuklah suatu panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin dari lembaran-lembaran yang tersebut menjadi buku.

Al-Qur'an yang  telah  dibukukan  itu  dinamai  dengan  “Al Mushaf” dan oleh panitia ditulis 5 buah Al Mushaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula dari masing-masing  Mushaf itu, dan satu buah ditinggal di Madinah, Untuk Khalifah Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan : “Mushaf Al-Imam”.

Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur'an dimasa khalifah Utsman bin Affan itu faedahnya yang terutama adalah : 

1) Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya. 

2) Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada berlainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf-mushaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-mushaf Utsman tidak diperbolehkan lagi. 

3)  Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada Mushaf-mushaf yang sekarang.[4]

Karena Al-Qur’an saat itu ditulis tanpa titik dan harakat, maka banyak orang yang kesulitan dalam membacanya. Sehingga ketika Gubernur Basrah “Ziad  Ibn  Sumaiyah” berkuasa, ia  memerintahkan kepada Abu Aswad Ad Dualy (Ahli Nahwu) agar menciptakan suatu cara untuk menghindari suatu kesalahan dalam membacanya.

Pada mulanya Abul Aswad menolak, namun akhirnya menyanggupi dan  hasilnya  lahirlah tanda–tanda  A (fatkha) dengan titik di atas  huruf dan lain–lain. Kemudian tanda–tanda itu dibubuhkan kedalam teks Al-Qur’an oleh  kedua muridnya yakni Nashar ibn ‘Ashim atas perintah Al Hallaj, yang kemudian disempurnakan oleh Al-Kholil Ibn Ahmad.

Al Khalil mengubah sistem baris Abul Aswad dengan menjadikan alif yang dibaringkan di atas huruf tanda baris di atas dan yang di  bawah huruf tanda baris di bawah, dan Waw tanpa baris didepan. Beliau jugalah yang membuat tanda Mad (panjang pembacaan) dan tasydid (tanda huruf ganda).

Sesudah itu barulah penghafal Al-Qur’an membuat tanda-tanda ayat,  tanda-tanda  waqaf  (berhenti) dan ibtida’ (mulat) serta menerangkan di pangkal-pangkal surat nama surat dan tempat – tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan ayatnya.

Menurut riwayat sebagian tarikh, pekerjaan–pekerjaan ini dikerjakan atas kemauan Al Ma’mun. Ada  diriwayatkan, bahwa yang mula–mula  memberi titik  dan baris,  ialah  Al  Hasan Al Bishry dengan suruhan Abdil Malik ibn Marwan.  Abdil  Malik  ibn  Marwan  memerintahkan  kepada Al Hallaj sewaktu  berada  di  Wasith, lalu Al Hallaj menyuruh Al Hasan  dan Yahya ibn Ya’mura, murid Abul Aswad Ad Dualy. Demikianlah terus-menerus raja-raja Islam dan ulama-ulamanya memperbagus tulisan Al-Qur’an, hingga sampailah kepada masa pencetakannya.[5]




[1] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam,  Proyek IAIN, Jakarta, 1994, hal. 76
[2] Lihat Majma’uz  Zawaid  VII: 65,  dalam Akhmad  Khalil  Jum’ah, Al-Qur'an  Dalam Pandangan Sahabat Nabi,  Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal. 39-40.
[3] T.M.  Hasbi  Ash  Shiddieqy,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu-ilmu  Al-Qur'an  dan  Tafsir,  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 72.
[4] R.H.A. Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan terjemahnya  edisi revisi,  Mahkota Surabaya, 1989, hal. 21-22
[5] T.M.  Hasbi  Ash  Shiddieqy,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu-ilmu  Al-Qur'an  dan  Tafsir,  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 71-72

METODE PENGAJARAN AL-QUR’AN DI ZAMAN RASULULLAH SAW


Al-Qur’an karim turun kepada  Nabi yang Ummi (tidak  bisa baca  tulis)  karena  itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan  untuk sekedar  menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai  Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu membacakan kepada orang-orang dengan begitu tenang, agar mereka pun dapat menghafalnya  serta memantapkannya. 

Dengan demikian ada tiga (3) faktor yang menyebabkan Al-Qur’an tidak  dibukukan dimasa Rasul dan sahabat. 

Pertama, kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami Al-Qur’an dan Rasul dapat menjelaskan maksudnya. Kedua, para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis. Ketiga, adanya larangan Rasul  untuk  menuliskan  Al-Qur’an. Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik dimasa Nabi maupun di zaman sahabat.[1]

Sejak Nabi melaksanakan fungsi dakwah secara aktif, di kota Mekkah, telah didirikan lembaga pendidikan di mana Nabi memberikan pelajaran tentang ajaran Islam secara menyeluruh dirumah-rumah dan masjid-masjid. Di dalam masjid-masjid berlangsung proses belajar-mengajar berkelompok dalam “HALAQAH” dengan masing-masing gurunya terdiri dari para sahabat Nabi. Kegiatan pembelajaran tersebut dapat berlangsung dengan baik, hingga pada akhirnya setiap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dicatat dan dilafalkan  oleh para sahabat yang pandai membaca dan menulis.[2]

Hal ini ada dua (2) cara Nabi memberikan Pembelajaran serta pemeliharaan  Al-Qur’an dari kemusnahan, antara lain adalah: Pertama, Menyimpannya ke dalam “Dada Manusia” atau menghafalkannya. Kedua, Merekamnya secara tertulis diatas berbagai jenis bahan untuk menulis. 

Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan bahwa  Rasulullah saw.  pernah bersabda:  “Yang terbaik diantara kamu adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan kemudian mengajarkann ya”.[3]

Pada setiap kali Rasulullah saw menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an Beliau membacanya di  depan  para  Sahabat, kemudian para Sahabat menghafalkan ayat–ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun demikian beliau menyuruh Kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat- ayat yang baru diterimanya  itu. Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu disimpan dirumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk mereka sendiri. Adapun caranya mereka menuliskannya pada pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya. 

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, bacaannya telah diperkenankan dengan tujuh macam huruf, dengan semuanya dengan lidah bangsa Arab yang fasih dikala itu, bahasa Arab yang paling baik. Oleh sebab itu Nabi Muhammad saw bersabda, yang  artinya:

Hendaklah kamu baca Al-Qur’an dengan lidah Arab dan suaranya, dan jauhilah lidah kedua ahli kitab Yahudi-Nasrani dan orang-orang yang durhaka.” (Riwayat At-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Jabir r.a).[4]

Maka hal ini ada kaitannya besar dari para sahabat yang hafal Al-Qur'an ketika pemberian metode pembelajaran Al-Qur'an pada zaman Nabi. 

Di dalam pembelajaran serta pemeliharaannya Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw adalah perekaman  dalam bentuk tertulis unit-unit wahyu yang diterima Nabi. Laporan paling awal tentang penyalinan Al-Qur’an secara tertulis bisa ditemukan dalam kisah Umar ibn Khaththab masuk Islam, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi ke Madinah. Sebagaimana yang diungkapkan Schwally, adalah tidak logis jika  Nabi  Muhammad  saw  sejak  masa  paling  awal  tidak  menaruh perhatian pada perekaman secara tertulis wahyu-wahyu yang diterimanya. 

Sebagaimana diterangkan di  dalam  Al-Qur’an  surat  Luqman  (31) dengan ayat 27:

Dan  seandainya  pohon-pohon  di  bumi  menjadi  pena  dan laut  (menjadi tinta), lalu ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi)  sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah...”  

Dengan jelas menyiratkan makna bahwa tinta dan pena digunakan ketika itu untuk menuliskan wahyu. Di riwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu,  ia  memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda:

Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[5]

Maka, jika membaca Al-Qur’an itu harus dengan lidah bahasa dan lagu bangsa Arab, maka sudah barang tentu menulis Al-Qur’an itu harus dengan huruf Arab. Karena jika Al-Qur’an ditulis dengan huruf selain huruf Arab, misalnya dengan huruf latin, tentu akan ada beberapa perubahan bacaannya, yang tidak sesuai lagi dengan asalnya. Demikianlah, tidak dapat disangkal lagi, bahwa Al-Qur’an itu harus ditulis dengan huruf Arab.[6]




[1] H.  Ramli  Abdul  Wahid,  Ulumul  Qur’an  edisi  revisi,  PT  RajaGrafindo  Persada, Jakarta, 2002, hal. 15.
[2] H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an,  Bina Ilmu, Jakarta, 1993, hal. 15
[3] Taufik  Adnan  Amal,  Rekonstruksi  Sejarah  Al-Qur'an,  dengan  kata  pengantar  M. Quraish Shihab, FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 129
[4] H. Munawir Chalil, Al-Qur’an Dari Masa ke Masa,  Ramadhani, Semarang, 1985, hal. 34-35.
[5] Taufik  Adnan  Amal,  Rekonstruksi  Sejarah  Al-Qur'an,  dengan  kata  pengantar  M. Quraish Shihab, FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 130-132
[6] H. Munawir Chalil, Al-Qur’an Dari Masa ke Masa,  Ramadhani, Semarang, 1985, hal. 35-36.