PEREMPUAN PADA AWAL ISLAM


Pada awalnya, wanita di dunia Arab pra-Islam tidak men-dapatkan warisan dan hal ini secara kemanusiaan sangat menindas karena telah menghilangkan hak diri pada manusia itu sendiri. Namun, hal ini kemudian hilang setelah Islam datang membawa ajaran yang memberikan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam persoalan pembagian warisan.
Menurut Nasaruddin Umar, persoalan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi didunia Arab pra-Islam berawal dari mitos yang bersifat misogynist. Mitos ini muncul dari proses encounters antara dunia Arab dengan peradaban dunia luar.
Tradisi Arab pra-Islam tersebut kemudian mengakar pada kehidupan masyarakat yang menghasilkan tradisi: (a) mengubur perempuan karena dianggap beban keluarga. Tradisi ini kemudian oleh Islam dilarang dengan turunnya surat al-An’am ayat 151, (b) masyarakat Arab pra-Islam laki-laki diperbolehkan menikah tanpa batas, (c) masyarakat Arab pra-Islam dibangun atas dasar ikatan keluarga, keturunan, kerabat dan ikatan etnis, (d) suami bebas menceraikan isterinya tanpa batas maksimal, sementara isteri tidak memiliki hak cerai. Hal ini ditentang oleh Islam melalui surat al-Baqarah ayat 229, (e) wanita merupakan hak kekayaan yang bisa diwariskan dan hal ini ditentang oleh Islam dengan turunnya al-Nisa’ ayat 19.
Pada masa Nabi, perempuan mulai memiliki peranan dalam urusan publik. Dalam hal ini, Asghar Ali Engineer melihat partisipasi perempuan pada masa awal Islam melalui kasus peperangan, dimana dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa perempuan muslim secara aktif membantu pasukan yang terluka dalam perang Uhud. Dalam kitab yang sama, juga disebutkan bahwa Aisyah menemani Rasulullah dalam sebuah perang.
Lebih jauh dalam Shahih al-Bukhari juga disebutkan bahwa dalam perang Uhud, Aisyah dan Umm Salim menggulung pakaiannya paling bawah hingga pergelangan kakinya tersingkap. Mereka membawa tempat air di punggung dan menuangkan air tersebut ke mulut orang-orang. Sedangkan, dalam Fath Khaibar juga disebutkan bahwa dalam perang Khaibar, setengah lusin perempuan Madinah ikut tentara Islam.


*Kutipan dari buku FIQIH PEREMPUAN karya Amin Khakam el-Chudrie*

PENGARUH CINTA


Menurut Muhsin Labib, ada tujuh pengaruh yang ditimbulkan oleh cinta, yaitu:
a.        Menghilangkan kesombongan dari diri pencinta
Cinta diri membuat lingkup pemikirannya terbatas, dan kecenderungan-kecenderungan pribadinya terkurung karena pikiran dan hatinya hanya terfokus pada dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga ia menjadi kerdil.
b.        Menciptakan daya dan kekuatan
Konsistensi yang merupakan energi dan daya survive dan kesabaran dalam menghadapi tekanan dan menanggung derita adalah akibat dari cinta.
c.         Mengkonsentrasikan semua daya
Cinta telah menyatukan semua potensi manusia, karena pikiran, perilaku dan sepak terjang pecinta akan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra lahiriah. Karena itulah, benaknya hanya terisi oleh pikiran tentang “ma’syuq” (yang dicinta).
d.        Melembutkan hati dan menghindarkan jiwa dari kekerasan
Manusia yang telah tertawan cinta, betapa pun berwatak keras, pasti akan merasakan kelembutan dalam batas-batas tertentu, minimal ia bisa lebih bersabar di depan kekasihnya, sehingga secara perlahan membuat hatinya menjadi lembut. Andaikan hatinya lembut, maka ia akan menjadi lebih lembut setelah menjadi pecinta.
e.         Mencabut kebebasan dan memasung kreatifitas
Seorang pecinta akan mengabaikan kepentingan dirinya demi kepentingan kekasihnya, bahkan ia tidak membedakan antara kepentingan dirinya dan kepentingan kekasihnya.
f.         Membuat pecinta menjadi dermawan, tangkas dan cerdas
Cinta telah membuat manusia keluar dari lingkaran egonya. Karena cinta, manusia menyandang sifat-sifat tertentu yang merupakan akibat cinta, seperti kedermawanan, ketangkasan dan kecerdasan.
g.         Melupakan kekurangan kekasihnya dan membutakan matanya
Karena tengelam oleh kekaguman pada keindahan kekasihnya, ia tidak melihat kekurangannya. Bahkan ia menganggap semua kelemahan sebagai keindahan dan kesempurnaan semata.

Muhammad Muhyidin menambahkan bahwa pengaruh dari cinta bisa membuat si pecinta mengenali dirinya sendiri. 
Inilah cinta yang menjadikan si pecinta untuk bisa tampil sebaik-baiknya di depan kekasihnya. Dia akan selalu mengaca untuk menemukan kelemahan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya. Dia akan membuat kekasihnya semangat dan bahagia. 



[1] Kutipan dari buku "Bersufi Melalui Cinta" karangan Amin Khakam el-Chudrie

INSÂN KAMÎL

Manusia merupakan makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi, baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut itulah yang selanjutnya disebut insân kamîl. Sebutan insân kamîl agaknya dimunculkan pertama kali oleh Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud).  la mengikuti paham al-Hallaj, yang menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah, Akal Pertama, Hakikat Insaniyah dan Insân Kamîl. Dengan demikian, Ibnu Arabi telah mengacukan sebutan insân kamîl bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam, tapi juga kepada Nur Muhammad (bersifat immateri, ciptaan pertama dari Tuhan. Insân kamîl dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam bukunya al-Insân al-Kamîl fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awal, dan para pengikut paham kesatuan wujud lainnya.
Istilah insân kamîl muncul dalam literatur Islam pada abad ke-7H/13 M dan dipergunakan pertama sekali oleh Ibn Arabi. Kemudian istilah itu segera menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn Arab. Insân kamîl yang mengacu kepada makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. la juga merupakan wadah tajalli, pancaran, atau manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak (Tuhan).
Sebagai makhluk pertama, insân kamîl merupakan Akal Pertama atau Wujud Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber segala ilmu. la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali. Penyebutan para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan insân kamîl, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh kehadiran insân kamîl (makhluk pertama itu) dalam jiwa mereka, dan menerima limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin menerima kehadiran atau pancaran insân kamîl itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci.  
Manusia-manusia turunan Adam, yang termasuk kategori insân kamîl, merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain, merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya.  Manusia lain yang bukan insân kamîl, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, namun tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya.
Insya Allah mengandung arti jika Allah menghendaki. Kata ini dianjurkan untuk diucapkan oleh seseorang apabila ia menghadapi urusan atau mengikat suatu perjanjian dengan orang lain yang akan dipenuhi atau ditepati besok atau pada jangka waktu kemudian yang telah ditetapkan.  Mengucapkan kata tersebut pada hakikatnya merupakan pendidikan mental bagi seorang muslim untuk selalu berada dalam kesadaran ketuhanan. Bahwa apa yang telah direncanakan oleh manusia dan apa yang akan dia lakukan besok, tidaklah dapat dipastikan akan berlaku sepenuhnya. Mungkin akan ada halangan dan rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya yang membuat urusan dan perjanjian itu menjadi gagal. 
Kedalaman dimensi esoterik di kalangan kaum sufi, melahirkan konsep insân kamîl (the perfect man). Yang dimaksud dengan insân kamîl ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia.  Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya.  
Berbicara tentang insân kamîl tidak bisa melepaskan diri dari Ibn Arabi, dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas dari konsep wahdatul wujud-nya. Filsafat ibn Arabi tentang manusia dikenal dengan konsep al-Insân al-Kamîl (manusia sempurna). Ia disimbolisasikan oleh Adam, yang diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya sebagai khalifah di muka bumi. Ciri utama antropologinya adalah antroposentrisme yang dibangun di atas ontologi. Dia menggunakan tema dan motif yang sudah lazim dalam sufisme awal. Tentu saja, antroposentrisme itu sendiri sama sekali bukan sesuatu yang baru, baik dalam tradisi Islam maupun dalam tradisi Yudeo-Kristen.   
Dalam teorinya ini, insân kamîl adalah duplikasi Tuhan (nuskhah al-Haqq), yaitu Nur Muhammad yang merupakan "tempat penjelmaan" (tajalli) asma' dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua dimensi hubungan; yang pertama adalah dimensi kealaman sebagai asas pertama bagi penciptaan alam, dan yang kedua dimensi kemanusiaan yaitu sebagai hakikat manusia. 
Dari dimensi kealaman maka hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang diciptakan oleh Allah Swt lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun ini tidak mengandung makna pencapaian-tujuan dari tujuan diciptakannya kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab, kenyataan-kenyataan tersebut masih merupakan tempat penampakan (tajalli) diri yang masih kabur. la belum cukup dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah Swt yang di-tajalli-kan atasnya. Melalui dimensi kemanusiaan maka hakikat Muhammad merupakan insân kamîl yang dalam dirinya terkandung himpunan realitas. Pada tahap inilah penampakan Asma Dzat Tuhan menjadi sempurna. 
Manusia Sempurna adalah suatu miniatur Realitas (Tuhan dan Alam). Dalam tubuhnya terdapat kesamaan-kesamaan yang ditarik di antara mikrokosmos dan makrokosmos. Essensi dari Manusia Sempurna adalah suatu ragam dari Ruh Universal. Tubuhnya merupakan ragam dari tubuh universal.  Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan kaum sufi, khususnya Ibn Arabi, ialah hadits Qudsi yang artinya: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku senang untuk diketahui maka Aku menciptakan makhluk, yang dengannya Aku dikenal mereka.”
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dengan cinta abadi dari Yang Esa untuk memandang Kecantikan dan Kesempurnaan Diri-Nya dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk, dan di samping agar diketahui oleh dirinya sendiri di dalam dan melalui Dirinya Sendiri, dijumpai pula realisasi paling sempurna dalam diri  Manusia Sempurna, yang hanya dia saja yang mengenal Dia, dan yang mampu memanifestasikan Atribut-atribut-Nya secara sempurna. Ia ketahui Dia, “dengan cara yang tak bisa diragukan lagi,” dan ia lihat Dia dengan “mata” paling dalam dari jiwanya. Ia bagi Tuhan seperti biji mata bagi mata (fisik). 



UPAYA MERAIH HIDAYAH


Hidayah adalah hak mutlak Allah, untuk memberikan (menganugerahkan) atau tidak kepada seorang hamba. Hidayah at-taufiq (kemampuan aktual yang dianugerahkan Allah kepada manusia tertentu yang dikehendaki-Nya), tidak akan bisa didapatkan kecuali Allah yang menghendakinya. Karena hidayah ini semata-mata monopoli Allah, Nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberikannya, seperti pada kasus paman Nabi. Begitu juga hidayah tuntunan berupa jalan ke surga. Bentuk hidayah ini merupakan otoritas Allah semata. Sehingga siapapun tidak bisa memberikannya kecuali Allah. 

Meskipun demikian, kita diperintahkan oleh Allah untuk berusaha semaksimal mungkin dengan memperbanyak ketaatan-ketaatan kepada Allah, memperbanyak taqarrub kepada Allah, agar kita diberi hidayah, diberikan cahaya pelita yang terang benderang yang berupa nur Illahi, sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur'an surat al-Fatihah ayat 6-7:

إِهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضّآلِّيْنَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Qs. Al-Fatihah: 6 – 7)

Dari ayat tersebut mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang diterangkan, merupakan rahasia diwajibkan membacanya, tiap rakaat dalam sholat karena itu jiwanya adalah munajat, untuk memohon petunjuk-Nya agar kita tidak tersesat ke jurang yang penuh dengan dosa-dosa, yakni dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.

Untuk itu, ada beberapa jalan atau proses yang dapat ditempuh, agar mencapai dan memperoleh hidayah antara lain:

1.     Irsyad

Yaitu kecerdasan dan ketangkasan orang yang mendapat hidayah, dikaruniai Tuhan kecerdasan sehingga ia dapat memahami sesuatu dengan fikiran yang cerah dan jernih serta akan memperoleh suatu keputusan yang bijaksana untuk menentukan jalan antara yang baik dan buruk maupun dalam samar-samar.[1]

2.     Taufiq

Ialah pertolongan, petunjuk, bimbingan, kesuksesan, kemenangan, dan kesejahteraan.[2]

3.     Ilham

Artinya menelan, meneguk, mengajarkan, mewahyukan sesuatu yang disampaikan oleh Allah Swt ke dalam jiwa yang membangkitkannya untuk mengerjakan dan meninggalkan sesuatu.[3]

Menurut az-Zarkasy, dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ilham adalah memberi pelajaran atau mengajar. Tuhan memberi pelajaran itu adakalanya menciptakan ilmu yang diperlukan manusia atau dengan cara menunjukkan dalil-dalil yang dibawa oleh Nabi dan didukung oleh akal. Dengan demikian, ilham merupakan petunjuk yang datang atau diterima pada saat-saat sudah hampir menemui jalan bentuk dalam mengatasi suatu kesulitan.

4.     Dalil-Dalil   

Yaitu keterangan-keterangan, tanda-tanda, petunjuk-petunjuk orang yang mendapat hidayah dari Allah, maka mereka tentunya akan dapat mengetahui jalan-jalan yang berbahaya, yang tidak boleh didahului, dan di mana jalan yang dapat dilewati sehingga dengan tujuan agar tidak tersesat ke dalam jurang kenistaan.




[1] Maftuh Hanan, Menyingkap 8 Type Manusia, Bintang Timur, Surabaya, 1992, hlm.19
[2] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm.89
[3] Ibid., hlm.200

TANDA-TANDA ORANG SOMBONG



Ada beberapa perilaku yang menjadi tanda-tanda adanya sifat sombong dalam diri seseorang, antara lain: 

a. Berlagak ketika berjalan dengan membungkukkan pundak dan memalingkan muka. Allah Swt berfirman,

Dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. (Qs. al-Hajj: 9)

Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs. al-Hadid: 23)

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dan manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs. Luqman: 18)

b. Melakukan kerusakan di muka bumi apabila ada kesempatan dengan menolak nasihat dan menentang kebenaran. Allah Swt berfirman,

Dan di antara manusia ada; yang ucapannya tentang kehidupan dunia membuatmu kagum dan dipersaksikannya kepada Allah isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Jika ia berpaling, ia berjalan di muka bumi untuk berbuat kerusakan dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kerusakan. Jika dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah," bangkitlah kesombongannya yang menyebabkan-nya berbuat dosa. Maka, cukuplah balasannya Neraka Jahanam dan sungguh Neraka Jahanam itu seburuk-buruknya tempat tinggal. (Qs. al-Baqarah: 204-206)

c.  Berlebihan dalam berbicara sebagaimana sabda Nabi Saw,

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci laki-laki yang berlebih-lebihan, banyak omong seperti seekor sapi yang menjilat-jilat dengan lidahnya." (HR. Abd Daud, at-Turmudzi, dan Ahmad)

"Maukah aku kabarkan orang yang paling jahat di antara kalian?" Beliau berkata, "Orang-orang yang sering berceloteh dan banyak omong." (HR. Ahmad)  

d. Memanjangkan pakaian (sampai jatuh ke tanah) dengan niat sombong dan membanggakan diri, seperti sabda Nabi Saw,

"Barangsiapa memanjangkan pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya salah satu ujung bajuku memanjang (sampai jatuh ke tanah), tetapi aku memandang itu bagian darinya." Nabi berkata, "Engkau melakukan itu bukan karena sombong." (HR. Abu Daud)

e. Menginginkan agar orang membutuhkannya, sementara ia merasa tidak membutuhkan orang lain. Contohnya, orang yang ingin agar semua orang berdiri saat ia datang atau lewat dihadapan mereka. 


f.  Ingin lebih dahulu daripada orang lain saat berjalan, dalam pertemuan, ketika berbicara, dan sebagainya.

TAWADHU' PENYEBAB KESOMBONGAN


Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra'd: 11)

 Sebagian orang ada yang bersikap tawadhu' secara berlebihan sampai tidak mau memakai pakaian yang bagus, tidak mau memberikan sumbang saran kepada orang lain tentang suatu persoalan, tidak mau memelopori penyelesaian suatu masalah, atau tidak mau menerima satu amanah pun.

Kadang, kalau sikap di atas dilihat oleh orang yang tidak mengerti hakikat suatu amal, ditambah bisikan setan dan sokongan hawa nafsu, semua sikap di atas dianggap muncul dari ketidak-mampuan mereka. Jika bukan karena itu, niscaya mereka tidak akan melakukannya.

Demikian bisikan dan sokongan hawa nafsu yang terus membayangi dan menguasai orang yang melihatnya, sampai akhirnya ia memandang hina orang lain yang melakukan perbuatan itu, dan merasa bangga akan dirinya sendiri. Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada setiap kesempatan ia ingin menampakkan kebanggaan atas dirinya itu. Inilah kesombongan (takabbur).

 Al-Quran dan Al-Sunnah mencoba memalingkan penyebab munculnya sifat takabur dengan tahadduts bi al-ni'mah (menceritakan nikmat Allah). Allah Swt berfirman,

Dan adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah.” (QS Al-Dhuha [93]: 11).

Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan." (HR. Muslim)

"Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, menyanjung-Mu dengan nikmat itu, dapat menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu bagi kami" (HR. Ibn Katsir).

Malik bin Nadhlah al-Jasyami berkata, "Aku mengunjungi Nabi Saw dengan pakaian jelek.  Nabi Saw. bertanya, "Apakah kau memiliki harta?" Aku menjawab, "Ya." Nabi Saw. bertanya, "Apa jenisnya?" Aku menjawab, "Allah telah menganugerahiku unta, kambing, kuda, dan hamba sahaya." Nabi Saw. berkata, "Jika Allah menganugerahimu harta, tunjukkanlah bekas nikmat dan kemurahan Allah pada dirimu" (HR. Abu Daud).

Para salaf shalih memahami tahadduts bi al-ni'mah dan mereka berupaya menunjukkan segala kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka serta mengingatkan orang-orang yang mengabaikannya. Hasan bin Ali r.a. berkata, "Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, ceritakanlah kepada teman-temanmu yang terpercaya."

Bakr bin Abdillah Al-Mazim berkata, "Barangsiapa dikaruniai kebaikan tetapi tidak tampak bekasnya pada dirinya, ia dinamakan pengurang dan penyia-nyia nikmat Allah."



TUJUH NIKMAT PENYEBAB KESOMBONGAN


Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ Ulûm al-Dîn menyebutkan tujuh nikmat yang menyebabkan seseorang menjadi sombong: 
1.  Pengetahuan (ilmu). Alangkah cepatnya sifat sombong itu timbul dalam hati orang-orang yang merasa cukup pengetahuannya. 
2.   Amal dan ibadat. Ini bisa menimbulkan sombong dan karenanya menarik perhatian orang banyak, kalau dia kurang ikhlas.
3. Kebangsawanan. Karena merasa dirinya turunan bangsawan, dia menjadi sombong dan memandang rendah kepada orang yang dianggapnya rakyat biasa. 
4. Kecantikan rupa. Ini lebih banyak pada kaum wanita. Bukan saja membawanya kepada kesombongan, tetapi juga suka mencela, merendahkan dan menyebut aib orang lain. 
5.  Harta dan Kekayaan. Karena merasa diri serba cukup, dia menjadi sombong dan memandang rendah dan melecehkan orang lain, terutama orang-orang miskin.
6.  Kekuatan dan Kekuasaan. Seseorang bisa menjadi sombong karena di tangannya ada kekuatan dan kekuasaan, memandang rendah dan berlantasangan terhadap orang-orang yang lemah.
7.  Banyak pengikut, teman sejawat, karib-kerabat yang mempunyai kedudukan dan jabatan-jabatan penting.
Kesimpulannya setiap nikmat yang dirasa oleh seseorang telah dipunyainya dengan cukup bisa menimbulkan kesombongannya. Dia lupa, bahwa semua itu adalah pemberian dan ujian dan Tuhan untuk menentukan sanggupkah seseorang mempergunakannya dengan baik atau tidak, apakah dia syukur atau kufur berkenaan dengan nikmat itu.
Di samping orang yang menyombongkan diri karena hal yang baik, ada pula orang-orang jahat yang menyombongkan dan membanggakan dirinya, karena banyak mengerjakan dosa dan maksiat, karena dia mengira bahwa itu ada satu kehormatan dan keistimewaan. 
Sebab itu bagi mereka yang menyombongkan diri karena tujuh kelebihan yang tersebut di atas, wajiblah diingatinya, bahwa ada orang lain yang sama dengan dia berkenaan dengan apa yang menyebabkan dia menyombongkan diri, bahkan banyak pula orang yang lebih dari padanya. Dengan kesadaran yang demikian, kesombongannya akan hilang dan berubah menjadi tunduk dan syukur kepada Allah yang memberikan kurnia kepadanya.

SUNNATULLAH PADA BUMI DAN LANGIT


Berfirman Allah Swt di dalam surat Ibrahim ayat 19 dengan bertanya sebagai berikut:

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? (Q.S. Ibrahim: 19)

Kemudian dengan tegas pula Allah Swt memberikan jawabannya di dalam firman-Nya surat Al-Hijr ayat 85 dengan mengatakan:

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. (Q.S Al-Hijr: 85)

Demikian pula di dalam surat An-Nahl ayat 3 difirmankan-Nya bahwa:

Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada yang mereka sekutukan. (Q.S. An-Nahl: 3)

 Firman-firman tersebut di atas merupakan informasi untuk menyakinkan bahwa adanya bumi dan langit serta segala sesuatu di antara keduanya karena diadakan atau diciptakan Allah Swt. Adanya itu bukan adanya sendiri atau karena sesuatu yang lain dari Allah Swt. Dengan demikian berarti pemiliknya adalah Allah Swt, yang menguasai keseluruhannya, yang diciptakan-Nya bukanlah tanpa tujuan. Sehubungan dengan itu berfirman pula Allah Swt di dalam surat Ar-Rum ayat 8 yang menyatakan bahwa:

 Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. (Q.S. Ar-Rum: 8)

 Sejalan dengan firman tersebut di dalam surat At-Taghaabun ayat 3 sekali lagi Allah Swt memfirmankan bahwa:

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. (Q.S. At-Taghaabun: 3).

 Tujuan yang benar itu satu persatu akan terlihat dalam uraian tentang aturan-aturan (sunnatullah) yang berlaku dan berlangsung tertib pada masing-masing benda langit, seperti untuk apa matahari dan bulan diciptakan bersinar atau apa tujuan bumi diciptakan berputar pada porosnya dan lain-lain. Aturan-aturan (sunnatullah) yang dilaksanakan secara taat/patuh itu menunjukkan bahwa sebagai hasil ciptaan ternyata benda-benda langit tersebut mampu mengabdi sambil bertasbih pada Allah Swt. 

Dari firman-firman Allah Swt tersebut jelas bahwa dengan ke-Maha Kuasaan-Nya maka bumi tidak bergoncang dan manusia serta semua makhluk lainnya diridhai menjalani hidup di atasnya, tanpa terjatuh atau terlempar ke ruang angkasa/langit. Ridha-Nya itulah yang disebut gaya tarik (gravitasi) bumi, sehingga manusia merasakan langit sebagai atap. Berfirman Allah Swt di dalam surat Al-Mu'min ayat 64 dengan mengatakan bahwa:

Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberimu rejeki dengan sebagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-Mu'min: 64)

  Kondisi itu merupakan sunnatullah yang berlaku juga pada semua benda langit lainnya, sebagai wujud kesamaannya antara yang satu dengan yang lain. Setiap benda langit planet dan bintang-bintang seperti juga bumi berada pada tempatnya masing-masing, melayang di ruang angkasa, seperti tergantung tanpa tali, sebagai ke-Maha Kuasaan Allah. Tidak satupun jatuh menimpa yang lain. Sehubungan dengan itu berfirman Allah Swt di dalam surat Al-Hajj ayat 65 yang menyatakan sebagai berikut:

Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.  (Q.S. Al-Hajj: 65)

  Alam ialah segala apa saja yang bukan Allah. Yang ada itu hanya dua, yaitu alam dan Allah. Alam ialah yang diciptakan (makhluk), sedang Allah ialah Pencipta (Khaliq). Maka dalam Qur'an, Allah bergelar “Rabbul 'alamien” artinya Tuhan alam semesta. Dalam menerangkan alam semesta, selain kata "alamien", Qur'an sering juga menggunakan kalimat "assamãwaat wal ardh", artinya semua langit dan bumi; atau Qur'an menyebut dengan kalimat segala apa yang ada di langit dan di bumi.

Alam semesta itu telah diciptakan Allah menurut hukum-hukum yang pasti, yang objektif dan yang tetap. Artinya, alam semesta adalah satu kosmos yang dalam bahasa ilmu dalam suatu laws of nature, dalam Islam disebut sunnatullah. Akan tetapi, dalam realitasnya terkadang ada yang menyimpangi atau menyeleweng dari sunatullah hal itu akibat dari tangan manusia yang menyimpangi fitrahnya atau basic sebagai manusia. 

Kerusakan alam yang terjadi belakangan ini, seperti gempa bumi dan bencana alam lainnya, adalah akibat keserakahan manusia dalam mengelola alam semesta. Potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia telah disalah-gunakan oleh manusia sendiri. Terlihat misalnya erosi tanah dengan banyaknya penebangan-penebangan pohon secara liar.

Sebagaimana alam semesta demikian pula seluruh isinya termasuk manusia telah terikat dan berada dalam suatu hukum serba tetap. Umpamanya, di antara alam semesta ialah sistem tata surya kita, yang mempunyai 9 buah planet penting, 1500 planet kecil-kecil dan 28 buah satelit (bulan-bulan); seluruhnya terikat dan berada dalam suatu hukum serba tetap, dalam hukum rotasi atau hukum revolusi dari setiap benda-benda langit itu. 

Demikian pula pada isi alam ini dari berbagai jenis benda: yang padat, yang gas dan yang cair; telah terikat dalam hukum-hukum. Air umpamanya, terikat dengan hukum: H2O, berarti air terikat dari 2 atom H (zat cair) dan 1 atom 0 (zat pembakar). Tiap-tiap benda yang lebih berat dari udara, tunduk kepada hukum gravitasi (gaya berat) yang disebut juga hukum Newton.

 Kulit bumi yang terjadi karena bola bumi terus berputar sejak diciptakan Allah Swt yang semula berpadu dengan langit, sedang inti bumi tetap dalam keadaan panas, dengan kehendak Allah telah berfungsi sebagai gaya tank (gravitasi) bumi. Kondisi itu mungkin saja setelah berabad-abad kemudian, mengakibatkan inti bumi menjadi dingin, dan hilanglah gaya tarik (gravitasi) bumi, sehingga terjadilah kiamat. 

Dengan kehendak Allah Swt bumi dibalikkan, gunung-gunung digoncangkan dan berterbangan, laut ditumpahkan dan sebagainya. Untuk itu berfirman Allah Swt di dalam surat Al-Waaqi'ah ayat 1 dan 2 kemudian 4 s.d 6 sebagai berikut:

Apabila terjadi hari kiamat. terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal) apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah dia debu yang berterbangan. (Q.S. Al-Waaqi'ah: 1-2 & 4-6)

Demikian pula firman-Nya di dalam surat Az-Zazalah ayat 1 s.d 5 telah dinyatakan Allah Swt bahwa:

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban (yang dikandungnya), dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya.  (Q.S. Az-Zazalah ayat 1-5)
  
Kapan akan terjadinya kiamat yang dahsyat itu, rahasianya hanya diketahui oleh Allah Swt. Demikian yang difirmankan-Nya di dalam surat Al-A'raaf ayat 187 bahwa:

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhan, tidak seorangpun dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akar. datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba." Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."  (Q.S. A'raf: 187).

 Dari firman-firman Allah Swt tersebut di atas jelas bahwa kiamat adalah akhir dari kehidupan di dunia, yang dilihat dari segi waktu di dunia sejak bumi dan langit diciptakan, waktunya telah dan akan berlangsung berjuta-juta abad. Namun menurut waktu di sisi Allah Swt sesungguhnya amat singkat, yang rahasianya hanya Allah Swt yang mengetahui-Nya.

Waktu tersebut adalah keseluruhan waktu di muka bumi, yang dengan petunjuk Allah Swt dilakukan perhitungannya, yang dialami secara kongkret dalam keterpaduannya dengan kehidupan. Oleh karena itu, tidak seseorangpun manusia yang akan mengalami keseluruhan waktu yang diciptakan oleh Allah Swt, sejak bumi dijadikan tempat kehidupannya sampai tibanya kiamat kelak di akhir zaman. Setiap manusia mengalami waktu sebagai kehidupan sesuai dengan yang ditetapkan Allah Swt bagi dirinya masing-masing.